PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW. DAN PERINGATAN 1 ABAD MASJID NASHRULLAH TELOK PAKEDAI KUBU RAYA

Oleh: Wajidi Sayadi

 

Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. sudah menjadi rutinitas tahunan di masjid ini.
Acara peringatan tahun ini lebih semarak karena dirangkaikan dengan peringatan 1 Abad atau 100 tahun berdirinya Masjid Nashrullah atau populer dengan nama Masjid Batu dalam perhitungan kalender Hijriyah.
Masyarakat berbondong-bondong ke Masjid Batu hingga penuh sesak, selain dari masyarakat setempat juga dari Pontianak, Jeruju Besar, Sungai Raya Dalam, dan lainnya. Para Kyai, Ustadz/Ustadzah, tokoh masyarakat, tokoh agama, pimpinan Pondok Pesantren terutama dari para murid dari murid-murid Guru Haji Ismail Mundu.
Hadir KH. Jalaluddin Ahmad Lc. Ketua Umum MUI Kota Pontianak, KH. Jamaluddin, S.Pd.I. Pimpinan Pondok Pesantren Mathlaul Anwar Pontianak, KH. Sardiawan Umar, M.Pd.I., Pimpinan Pondok Pesantrem al-Hisbah Pontianak, KH. Ishak Arsyad Pengurus Masjid Miftahuddin Pontianak, dan banyak Kyai dan Gurutta lainnya.
Acara diawali dengan ziarah ke makam Guru Haji Ismail Mundu yang tidak jauh dari Masjid.
Peringatan maulid dengan tradisi para ulama terdahulu dengan bacaan al-Barzanji, Shalawatan, Dzikir, dan Doa. Pembacaan Manaqib Guru Haji Ismail Mundu. Diakhiri dengan ceramah Hikmah Maulid oleh KH. Jalaluddin Ahmad, Lc., saya hanya menambahkan cerita jaringan Ulama Sulawesi Selatan dan Barat dengan Kalimantan Barat melalui ayahanda Guru Haji Ismail Mundu bernama Syekh Abdul Karim yang boleh jadi berpusat di Masjid Batu Telok Pakedai.
Kami sendiri bersama keluarga dan jamaah dari Surau Babul Jannah berangkat pagi-pagi dari Pontianak sampai di Penyeberangan. Lalu menggunakan Speedboat menuju ke Masjid Batu. Perjalanan Speedboat yang asyik dan menyenangkan menyusuri sungai-sungai.
Sungguh tidak terbayangkan bagaimana semangat jihad Dakwah ulama terdahulu hingga sampai ke Telok Pakedai jauh dari Kota dengan sarana dan prasarana yang sungguh sangat terbatas pada zamannya. Berbeda dengan apa yang ada hari ini. Tantangan dakwah hari ini, tidak ada artinya dibandingkan dengan tantangan dakwah masa lalu.
Masjid Nashrullah atau Masjid Batu ini didirikan oleh Guru Haji Ismail Mundu pada tanggal 4 Dzulhijjah 1345 H. bertepatan 4 Juni 1927 M.
Guru Haji Ismail Mundu (1870 M-1957) puluhan tahun tinggal dan belajar sebagai santri dari para ulama besar di Mekah al-Mukarramah. Setelah ke Indonesia, Beliau menetap di Telok Pakedai.
di Masjid Nashrullah inilah sebagai Markaz Pusat Pendidikan agama, Dakwah dan Kaderisasi Ulama yang dilakukan oleh Guru Haji Ismail Mundu. Murid-muridnya tersebar di Kalimantan Barat, hingga ke Johor Malaysia dan Singapura.
Bahkan Masjid Nashrullah ini juga dapat disebut sebagai titik sentral jaringan Ulama Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan dan Barat.
Ayahnya Guru Haji Ismail Mundu bernama Syekh Abdul Karim berasal dari Bilokka Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan.
Itulah sebabnya Guru Haji Ismail Mundu dikenal sebagai Ulama Bugis.
Masyarakat di Telok Pakedai memang kebanyakan masyarakat Bugis. Bahkan dalam catatan riwayat hidupnya, Beliau punya karya Tafsir Al-Qur’an Berbahasa Bugis.
Syekh Abdul Karim bersaudara dengan Abdul Fattah.
Abdul Fattah mempunyai anak bernama Manrulu, Masseuwwa, dan Maddeppungan.
Maddeppungan inilah yang kelak menjadi Ulama besar di Sulawesi Selatan dan Barat. Beliau cukup lama tinggal dan belajar di Mekah. Di antaranya gurunya adalah Syekh Said al-Yamani Guru Ulama Nusantara di Mekah.
Gurunya inilah yang memberi nama Muhammad Arsyad, karena tidak paham apa artinya Maddeppungan.
Pada abad ke 19 M. Syekh Abdul Karim meninggalkan Bilokka Sidrap dengan tujuan hendak pergi ke Mekah mengaji belajar tentang Islam. Pada masa itu, salah satu rute yang dianggap terdekat dan mudah adalah melalui Singapura.
Menuju Singapura melalui Pontianak Kalimantan Barat. Ternyata dalam perjalanannya, Beliau singgah dan menetap dalam waktu cukup lama di Kabupaten Pontianak maksudnya di Sungai Kakap.
Di Kabupaten Pontianak Beliau nikah dengan Siti Zahrah (populer dengan nama Wak Sora). Dari pernikahannya inilah lahir Guru Haji Ismail Mundu.
Guru Haji Ismail Mundu sepupu satu kali dengan KH. Maddeppungan yang populer dengan sebutan Puang pangrita.
Syekh Abdul Karim sesuai rencana dan harapannya tetap melanjutkan perjalanannya menuju Mekah untuk belajar di sana.
Di Mekah, Beliau belajar secara Halaqah langsung kepada Syekh Sayyid Bakriy Syatha’ di Masjid al-Haram dengan membaca Kitab Fath al-Mu’in. Setelah selesai khatam ngaji Kitab Fath al-Mu’in, penjelasannya inilah yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah kitab bernama I’anah ath-Thalibin 4 jilid.
Sepulang dari Mekah langsung ke Makassar. Di Makassar inilah ketemu dengan Qadhi Masjid Raya Campalagian VI bernama Pua’ Muriba. Syekh Abdul Karim diajak untuk datang ke Campalagian Kabupaten Polman Sulawesi Barat (pemekaran dari Sulawesi Selatan tahun 2004) untuk berdakwah dan memberi pemahaman agama kepada masyarakat.
Syekh Abdul Karim datang di Campalagian tahun 1883. Beliau menjadi Qadhi Masjid Raya Campalagian ke VII tahun 1889-1892 M. Selama di Campalagian, banyak sekali muridnya, salahsatunya adalah keponakannya sendiri bernama KH. Maddeppungan.
Syekh Abdul Karim dikenal sebagai peletak dasar pengajian Ilmu Sharf galaffo dan ilmu Nahwu.
Setelah di Campalagian Beliau kembali Ke Pontianak hingga wafat pada hari Ahad 15 Rabiul Akhir 1355 H/5 Juli 1936 dimakamkan di Desa Sungai Kakap Kabupaten Kubu Raya (Dulu bernama Kabupaten Pontianak).
Syekh Abdul Karim (1936) belajar ke Sayyid Bakriy Syatha’ (1892 M), gurunya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (1886 M), gurunya Utsman bin Hasan ad-Dimyathi (1263 H), gurunya Muhammad bin Salim al-Hifni (1181 H), gurunya Ahmad al-Khalifi (1209 H), gurunya Ahmad al-Bisybisyi (1096 H), gurunya Ali bin Ibrahim al-Halabi (1044 H), gurunya Ali az-Ziyadi (1024 H), gurunya Syamsuddin ar-Ramli (1004 H), gurunya Syihabuddin ar-Ramli (937 H) — Khatib asy-Syarbini (977 H) — Ibnu Hajar al-Haitami (964 H), gurunya Zakariya al-Anshari (929 H/), gurunya Ibnu Hajar al-‘Asqalani (852 H/1449 M), gurunya Ibnu Mulaqqin (804 H), gurunya al-Jamal al-Asnawi (772 H), gurunya Taqyiddun as-Subki (756 H), gurunya Ibnu Rifah (710 H), gurunya Ibnu Daqiq al-‘Id (702 H), ‘Izzuddin bin Abdissalam (660 H), gurunya Fakhruddin Ibnu ‘Asakir (620 H), gurunya Ibnu Muhammad an-Naisaburi (578 H), gurunya ad-Damighani (548 H), gurunya Imam al-Gazali (505 H/1111 M), gurunya Abdullah al-Juwaini (438 H), gurunya Al-Qaffal ash-Shagir (417 H), gurunya Abu Zaid al-Marwazi (371 H), gurunya Abu Ishaq al-Marwazi (340 H), gurunya Abu Abbas Ibnu Suraij (306 H), gurunya Abu al-Qasim al-Anmathi (288 H), gurunya Ismail bin Yahya al-Muzani (246 H), gurunya Imam Syafi’i (204 H/820 M), gurunya Imam Malik (179 H/796 M) – Muhammad bin Juraij (114) – Muslim bin Khalid az-Zanji (150 H), Nafi’ bin Sarjis (117 H) —- Atha’ bin Abi Rabah (115), gurunya Abdullah bin Umar (73 H) — Abdullah bin Abbas (78 H), gurunya RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM.
اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
Telok Pakedai, 4 Rabiul Awwal 1446 H/8 September 2024 M.
Posted in: Kajian Islam

Leave a Comment