Dibaca 4
Oleh: Wajidi Sayadi
Teringat sahabat dan kolega saya yang saat ini sudah pensiun, purna tugas.
Beberapa tahun lalu, ketika dipindahtugaskan sebagai Kepala Kantor Wilayah di Kalimantan Barat pada salah satu instansi Kementerian. Beliau mengutus salah seorang stafnya menemui saya di kampus, saya diundang ingin bertemu dengan pimpinannya sebagai Ka. Kanwil.
Setelah sampai di ruangan kerjanya, pegawainya diminta keluar, ia ingin berbicara berdua saja.
Pertama kali ketemu, Beliau memperkenalkan diri nama dan asal serta pengalamannya sebagai pegawai dan pejabat di berbagai daerah dan provinsi di Indonesia, terakhir ini dipindahtugaskan lagi sebagai Kepala Kantor Wilayah di Kalimantan Barat. Beliau mengatakan mungkin saya akan pensiun di Pontianak atau saya dipindahkan terakhir ke pusat dan di sana akan pensiun.
Setelah cukup lama ngobrol mengenai berbagai hal termasuk di kementeriannya.
Ia mengemukakan hajat dan maksudnya mengundang saya ke ruangannya adalah ingin belajar al-Qur’an.
Dengan spontan memotong pembicaraannya, saya langsung jawab, waah saya bukan ahli al-Qur’an, belum pantas mengajari Bapak tentang al-Qur’an.
Beliau jawab, tidak mungkin saya undang Ustadz ke sini, kalau saya tidak tahu bahwa Ustadz bisa mengajari saya. Saya mendapat rekomendasi dari para staf dan pegawai mengenai nama Ustadz di Kampus dan masyarakat di Pontianak.
Saya istigfar mendengar komentar seperti ini.
Awalnya saya memahami dan menduga bahwa Beliau ingin diskusi mengenai makna dan tafsir al-Qur’an, karena saya melihat usia dan kapasistasnya sebagai pejabat.
Setelah cukup lama ngobrol dan menjelaskan harapan dan keinginannya yang tulus ikhlas mau belajar, rupanya ingin belajar baca al-Qur’an, dari awal mengenal dan baca huruf-huruf hijaiyah, seperti ngaji Iqra’ yang biasa dipakai anak-anak Taman Pendidikan Al-Qur’an.
Maa Syaa Allah. Hati kami sedikit agak kaget dan tersentak, ooh rupanya begitu. Namun kami sangat merespon dengan senang dan gembira, dan memberinya motivasi terus. Sebab, Beliau merasa malu diketahui staf dan bawahannya, bahwa ia baru belajar baca al-Qur’an, seperti anak-anak Taman Pendidikan Al-Qur’an.
Saya katakan sama Beliau, sudah cukup lama tidak pernah mengajar baca al-Qur’an, memperkenalkan huruf-huruf Hijaiyah seperti ini, dan sesibuk apa pun agenda kegiatan saya di kampus dan di masyarakat, saya tetap meluangkan waktu untuk Bapak, sebagai penghargaan dan apresiasi saya kepada bapak yang tulus ikhlas menyadari ingin belajar al-Qur’an di usia jelang pensiun.
Sesuai kesepakatan, kapan Beliau siap dan ada waktu luangnya, saya ditelpon, terutama ketika para staf dan pegawai di kantornya sudah pada pulang, yakni sekitar jam 17. 00 hingga masuk waktu magrib.
Selain di ruang kerjanya di kantor, sering kami kami bertemu dan belajar di rumah dinasnya, lebih santai sambil ngobrol banyak hal.
Dalam proses pembelajaran untuk baca huruf-huruf hijaiyah al-Qur’an, lidah anak-anak usia dini dan lidah usia dewasa agak berbeda, hanya saja cenderung lebih mudah menjelaskannya.
Mengingat usianya sudah jelang pensiun, maka Momentum seperti ini juga saya manfaatkan untuk banyak menyampaikan pesan-pesan utama isi kandungan al-Qur’an, bukan semata-mata belajar baca dan mengucapkan huruf-huruf al-Qur’an.
Bagi orang seperti Beliau adalah sangat penting pada isi dan substansi ajaran agama, baik dari al-Qur’an maupun hadis serta penjelasan dari para ulama.
Ketika belajar, waktu yang paling banyak digunakan adalah justru kajian Al-Qur’an dan hadis serta hukum-hukum lainnya.
Saya sengaja menjadikan ayat-ayat tertentu dalam al-Qur’an yang dibaca berulang-ulang dengan kaedah tajwid, kaedah tafsir dan kaedah pemahamannya.
Setelah itu, saya berusaha menjelaskan asbab an-nuzul-nya, dan maknanya dari berbagai sisi serta keterkaitannya dengan hadis-hadis Rasulullah SAW.
Suatu saat setelah beberapa kali pertemuan, Beliau membeli mushaf al-Qur’an dan terjemahannya, buku Asbab an-Nuzul karya as-Suyuti, buku Indeks al-Qur’an, dan buku-buku lainnya sesuai yang kami rekomendasikan kepada Beliau sebagai modal mempelajari al-Qur’an di masa-masa jelang hingga masa pensiunnya.
Ada banyak pelajaran dan hikmah yang diambil dari pengalaman seperti ini, antara lain bahwa belajar agama, khususnya al-Qur’an tidak mengenal batas usia, tidak mengenal halte, tempat berhenti. Kesadaran dan ketulusan setiap orang yang ingin belajar apa pun latar belakang dan dalam kondisi apa pun adalah sebuah kebaikan dan keistimewaan yang perlu dihargai. Kesadaran seperti ini merupakan pintu dan jendela hidayah lagi sedang terbuka, maka harus dimanfaatkan untuk memberi manfaat.
Semoga dapat menginspirasi dan menebar kemanfaatan
Pontianak, 12 Oktober 2024