Dibaca 111
Tulisan ini sebagai wujud apresiasi rasa bangga terhadap sahabatku Prof. Dr. Alimin, MA. yang sangat menginspirasi banyak kalangan.
Dengan kondisi fisik sangat terbatas, kedua matanya buta total bukanlah menjadi penghalang untuk meraih cita-cita yang luhur dan mulia menjadi seorang Professor.
Setelah cukup lama tak pernah jumpa dan tidak ada kabar, hanya sesekali via facebook mengabarkan beberapa kegiatannya seputar pembelajaran ilmu nahwu dan sharf melalui metode yang dibuat sendiri. Kamis, 18 Januari 2024 ketika 60 orang dosen di bawah naungan Kementerian Agama menerima SK Profesor Guru Besar pada bidang keilmuan masing-masing.
Terdapat seorang bernama Prof. Dr. Alimin, MA. Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya sangat senang dan ikut berbahagia. Ketika ada tayangan di media social Facebook tentang Beliau menerima SK Professor, saya mengucapkan Selamat dan sukses atas pencapaian dengan penuh perjuangan panjang.
Pada hari penerimaan SK Guru Besarnya, saya melihat foto Beliau bersama istrinya dengan senyum kebahagiaan, saya belum tahu persis bahwa Beliau dalam keadaan buta total kedua matanya.
Sehari setelahnya, saya membaca sebuah media hasil wawancara dengan wartawan yang menceritakan kisah seorang Profesor Buta dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bernama Prof. Dr. Alimin, MA.
Barulah saya tahu bahwa sejak tahun 2016 atau sekitar 7 tahun lalu, Beliau sama sekali sudah tidak bisa melihat apa-apa, antara siang dan malam tetap sama saja gelapnya. Kedua matanya buta total.
Beberapa tahun sebelumnya pernah bertemu dan menceritakan bahwa penyakit yang diderita di matanya menurut keterangan dokter, makin lama makin parah pada akhirnya suatu saat akan buta matanya. Namun, saya tetap yakin analisis dokter tidak selamanya 100 % benar. In syaa Allah akan sembuh dan tidak sampai buta total. Itulah keyakinan saya sehingga tidak percaya apa yang Beliau alami sekarang.
Saya membaca kisahnya “Menikmati Takdir” seorang Professor yang Buta.
Saya membacanya serius pelan dan seksama mengikuti dan menjiwai alur kisahnya tak terasa air mata saya menetes tak terbendung, terharu sekaligus sangat bangga. Dengan kondisi kedua mata buta terutama selama 7 tahun terakhir ini Beliau bisa menghapal al-Qur’an 30 Juz sekaligus bisa sampai puncak karir sebagai dosen meraih Professor. Ini luar biasa.
Saya benar-benar bangga dan bersyukur punya sahabat dengan kondisi buta matanya tapi tetap semangat berjuang dan bisa menyandang gelar Profesor.
Prestasi ini sangat langka di Indonesia, seorang buta bisa meraih Profesor, mungkin yang ada dan banyak sudah Professor lalu kemudian menjadi buta.
Saya dengan Prof. Alimin punya banyak kenangan dan kesan seperjuangan dalam suka dan duka sejak di Makassar hingga sama-sama mahasiswa S2 dan S3 dengan jurusan yang sama yaitu Tafsir Hadis di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Beliau alumni Sastra Arab di Fakultas Adab UIN Alauddin Makassar dengan bekal dasarnya dari Pondok Pesantren di Bone melalui asuhan dan keberkahan dari Angregurutta KH. Junaid Bone, dan para ulama lainnya.
Lalu kami sama-sama menimba ilmu di Pendidikan Kader Ulama MUI Provinsi Sulawesi Selatan tahun 1995/1996, Beliau utusan MUI Kabupaten Bone, saya utusan MUI Kabupaten Polmas. Kami belajar di Pendidikan Kader Ulama MUI Sulawesi Selatan dipimpin Angreguruttan alm. KH. M. Sanusi Baco.Lc.,
Berbulan-bulan kami tinggal di Asrama dalam komplek Masjid Raya Makassar sebagai pusat Pendidikan Kader Ulama MUI Sulawesi Selatan.
Ketika kami ikut tes Pendidikan Kader Ulama tingkat Nasional di Jakarta. Saya ditakdirkan dinyatakan lulus, akhirnya tahun 1997 saya tinggalkan PKU Makassar menuju PKU Nasional Di Jakarta di bawah pimpinan Prof. M. Quraish Shihab. Sejak itulah kami berpisah.
Ternyata beberapa bulan kemudian. Kami sama-sama ikut tes masuk Program Pascasarjana Program Magister. Beliau mendaftar di Makasar, saya mendaftar di Jakarta. 1997 kami sama-sama lulus di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan jurusan sama Tafsir Hadis. Sejak itulah kami sama-sama merasakan suka duka sebagai mahasiswa baik pada program Magister sampai program Doktor.
Pada tahun 1999 ada penerimaan CPNS formasi dosen di perguruan tinggi. pada awalnya, Prof. Alimin ditawari ke STAIN Pontianak, hanya saja dalam waktu bersamaan Beliau juga mendaftar di UIN Syarif Hidayatullah. Akhirnya Beliau memilih di Jakarta, dan saya ke Pontianak. Namun studi kami berdua tetap jalan seperti biasa sebagai mahasiswa pascasarjana pada umumnya, walaupun pengangkatan sebagai PNS di perguruan tinggi masing-masing. Hingga 2006 saya sudah menyelesaikan Program Doktor dan kembali bertugas di STAIN Pontianak.
Kami berdua dekat dan sama-sama pernah merasakan suka duka dalam perjuangan studi di Makassar dan Jakarta, tiba-tiba mendapatkan kabar dan ceritanya bahwa Beliau buta total kedua matanya. Hati saya benar-benar terhentak, kaget, sedih, terharu, dan …… terutama ketika membaca kisah pengalamannya yang dianggapnya konyol tapi lucu, namun semuanya dianggap sebagai nimkat terbaik dari Allah. Sungguh luar biasa Sahabatku Prof. Alimin.
Semoga saya bisa menghadiri acara Prosesi Pengukuhannya Sebagai Guru Besar Profesor bidang Tafsir Al-Qur’an.
Beliau mengisahkan beberapa kejadian yang dialaminya selama dalam kondisi buta.
Diantara kebiasaan setiap malam selain mendaras hapalan al-Qur’an 30 Juz, juga semakin aktif menulis, baik buku maupun artikel.
Suatu saat di tempat kerjanya merasa sudah menulis 20 lembar halaman di malam hari. Pagi harinya lembaran-lembaran itu diserahkan sama anaknya untuk diketik. Namun anaknya bingung, untuk apa kertas kosong diketik di laptop?
Akhirnya sang anak memberitahu ayahnya, bahwa lembaran itu tidak ada tulisannya sama sekali.
Rupanya pulpen yang digunakan menulis 20 lembar itu adalah pulpen yang habis tintanya. Namanya orang buta, tidak bisa melihat apakah ada tintanya atau tidak. Akhirnya sama-sama tertawa, menikmati takdir.
Pernah juga ikut shalat berjamaah, ketika bangkit dari sujud terakhir pada rakaat terakhir, imam membaca takbir intiqal dengan lafal panjang (Allaaaaaaaahu Akbar), dalam pikiran kosong, Beliau bangkit dari sujud langsung berdiri mengikuti bancaan takbir imam yang panjang. Akhirnya, Beliau berdiri sendirian, sementara di samping kanan kirinya pada sedang dudk tahiyat akhir.
Setelah cukup lama berdiri kok imam tidak lagi membaca takbir untuk ruku’. Akhirnya ada yang memberitahu bahwa shalat jamaah sudah selesai, sementara Beliau masih berdiri sendirian dalam barisan berjamaah.
Beliau pun pada akhirnya mengulangi shalatnya.
Atas kejadian ini, Beliau terinspirasi untuk menulis Buku Fikih untuk orang cacat seperti tuna netra.
Kebiasaan kami di kampung bacaan takbir imam ketika bangkit dari sujud terakhir bacaannya pendek (Allahu Akbar) sebagai kode bahwa ini takbir penutup dalam shalat.
Berbeda ketika bangkit dari sujud menuju ke posisi berdiri pada rakaat berikutnya biasanya bacaan takbir imam panjang (Allaaaaahu Akbar).
Beliau mengisahkan dan menyarankan, apabila bermaksud menuntun orang buta janganlah memegang lengang tangan, atau tangannya, atau bagian pundaknya, karena Beliau merasa diperlakukan seperti tahanan yang sedang digiring ke penjara.
Sebaiknya dituntun dengan cara kita berada di depannya dengan aba-aba atau kode, atau pake tongkat, dan cara lainnya yang enak dan nyaman.
Semua cerita pengalamannya dianggap konyol tapi lucu, namun diyakini sebagai nikmat dari Allah yang harus disyukuri. Jadi, judulnya “Menikmati Takdir”.
Beliau sangat hapal dan mepraktekkan pesan nabi SAW.
وَارْضَ بِمَا قَسَمَ اللهُ لَكَ تَكُنْ أَغْنَى النَّاسِ
Merasa rela dan gembiralah terhadap apa yang Allah takdirkan untukmu, niscaya engkau menjadi orang yang paling kaya (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah).
Selamat dan Sukses Luar Biasa Sahabatku Profesor Alimin Tiada Napas dan Hidup Tanpa Perjuangan
Semoga Ilmu, Hikmah dan Pengabdiannya semakin penuh Keberkahan untuk keluarga, umat dan bangsa.
Semoga Bermanfaat
Pontianak, 20 Januari 2024