Dibaca 73
Selama kegiatan MTQ tingkat Provinsi Kalimantan Barat berlangsung di Sanggau, para panitia, dewan pengawas, dewan hakim dan panitera melaksanakan shalat subuh berjamaah, lalu dilanjutkan dengan taushiyah atau kuliah subuh, kemudian evaluasi dan informasi dari ketua LPTQ dan ketua Dewan Hakim.
Subuh hari ini, kami diberi amanah untuk menyampaikan taushiyah. Inilah taushiyah atau kuliah subuh dengan judul sebagaimana tertulis di atas.
Munasabah artinya hubungan atau korelasi kesesuaian yang serasi antara satu kata dengan kata lainnya dalam satu ayat atau ayat dengan ayat lain dalam satu surat atau satu surat dengan surat lainnya sebelum dan sesudahnya.
Salah satu sarana tadabbur al-Qur’an adalah munasabah ayat dan surat al-Qur’an. Munasabah merupakan bagian penting tak terpisahkan dari upaya memahami, menafsirkan, dan tadabbur isi kandungan al-Qur’an.
Hubungan atau korelasi antara kata, ayat, dan surat menjadikan keutuhan yang indah dalam tata bahasa al-Qur’an dan sekaligus sebagai bukti kemukjizatan al-Qur’an. Al-Qur’an itu utuh satu kesatuan ayat-ayat dan suratnya tak dapat dipisahkan dengan ayat dan surat lainnya.
Para ulama telah merumuskan sebuah kaedah:
القرآن يُفَسِّرُ بَعْضُهُ بَعْضًا
Al-Qur’an saling menjelaskan antara satuan bagian dengan bagian lainnya.
Ada seorang sahabat yang mau melaksanakan sa’i bertanya kepada Rasulullah SAW., bagaimana cara pelaksanaan Sa’, apakah berangkat dari Shafa ke Marwa atau dari Marwa ke Shafa? Beliau menjawab:
ابْدَءُوا بِمَا بَدَأَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ
Mulailah sebagaimana Allah ‘azza wa jalla memulainya. (HR. Ahmad dari Jabir bin Abdullah).
Dalam al-Qur’an, Allah berfirman:
اِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَاۤىِٕرِ اللّٰهِ
Sesungguhnya Shafa dan Marwah merupakan sebagian syiar (agama) Allah. (QS, al-Baqarah: 158).
Oleh karena Allah memulai penyebutan Shafa, lalu kemudian Marwa, maka prosesi kegiatan sa’i dimulai dari Shafa menuju ke Marwah.
Dalam konteks hukum fiqh, imam Syafi’i (820 M) dan ulama madzhab Syafi’i memahami hadis ini sebagai dasar dan landasan hukum mengenai wajibnya tertib dalam beribadah. Walaupun hadis ini disabdakan Nabi SAW. dalam kasus haji, tapi juga berlaku dalam masalah ibadah lainnya, seperti masalah wudhu, wajib tertib mendahulukan membasuh wajah, lalu kedua tangan sampai siku, lalu mengusap bagian kepala dan terakhir membasuh kedua kaki sampai mata kaki.
Hal ini mengacu pada apa yang disebutkan secara tertib dalam al-Qur’an.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki. (QS. Al-Maidah: 6).
Dalam kaitannya dengan ilmu tafsir al-Qur’an bahwa penyebutan kata, kalimat, ayat dan surat antara yang disebutkan dalam al-Qur’an lebih dahulu dan yang terakhir mengandung hubungan, makna, maksud, hikmah atau rahasia.
Hubungan atau korelasi yang serasi seperti inilah yang disebut sebagai munasabah sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Para ulama tafsir, seperti Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa munasabah al-Qur’an terdiri dari beberapa macam, yaitu:
1. Munasabah (hubungan) antar kata dengan kata dalam satu ayat.
2. Munâsabah (hubungan) antara kandungan ayat dengan fashîlah (penutup ayat).
3. Munâsabah (hubungan) ayat dengan ayat sebelumnya.
4. Munasabah (hubungan) ayat dengan ayat berikutnya.
5. Munasabah (hubungan) muqaddimah satu surat dengan penutupnya.
6. Munasabah (hubungan) penutup atau ayat terakhir satu surat dengan ayat permulaan surat berikut.
7. Munasabah (hubungan) kandungan surat dengan surat sesudahnya.
Adapun contohnya Munasabah (hubungan) antar kata dengan kata dalam satu ayat.
Allah berfirman:
وَاللّٰهُ اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔاۙ وَّجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani agar kamu bersyukur. (QS. An-Nahl, 16: 78).
Ayat ini dapat dipahami dengan pendekatan munasabah, yaitu penyebutan kata السَّمْعَ (pendengaran), وَالْاَبْصَارَ (penglihatan), dan الْاَفْـِٕدَةَ (hati nurani).
Dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menggunakan kata
kata السَّمْعَ (pendengaran) dan وَالْاَبْصَارَ (penglihatan), misalnya dalam QS. Yunus, 10: 31; QS. An-Nahl, 16: 78; QS. al-Isra’, 17: 36; QS. Al-Mu’minun: 78; QS. As-Sajdah: 9; QS. Al-Mulk, 67: 23.
Semua ayat tersebut mendahulukan kata ”pendengaran”, lalu ”penglihatan”, dan terakhir ”hati nurani”.
Apa makna, maksud, hikmah dan rahasianya?
Pasti ada maunasabahnya.
Para ulama menjelaskan munasabahnya, antara lain:
Penyebutan kata ”pendengaran” didahulukan daripada ”penglihatan” karena organ tubuh manusia yang lebih dahulu berfungsi dibandingkan dengan penglihatan adalah pendengaran.
Bayi yang baru lahir dalam keadaan mata tertutup, tapi pendengarannya sudah berfungsi. Ketika kita berada di samping bayi dan ada pergerakan menyebabkan ada bunyi, biasanya bayi langsung merespon kaget dan menangis.
Berbeda ketika kita menaruh tangan atau apa-apa di posisi dekat kedua matanya, bayi itu tidak merespon karena matanya belum berfungsi.
Demikian juga apabila manusia tidur, semua organ tubuh manusia istirahat kecuali pendengarannya. Manusia sangat susah tidur apabila banyak suara yang berisik. Ketika ada suara terdengar begitu keras, manusia langsung merespon kaget dan terbangun.
Berbeda ketika meletakkan tangan atau benda di dekat mata, maka biasanya tidak banyak berpengaruh.
Dalam kajian epistemologi ilmu, yakni sumber lahirnya ilmu adalah bersumber dari hasil pendengaran. Biasanya orang yang tekun dan serius mendengarkan dengan baik walaupun ia belum mengalaminya secara langsung ia akan lebih banyak memperoleh informasi dan ilmu.
Demikian juga selanjutnya adalah ilmu berasal dari hasil penglihatan melalui pengalaman emperis.
Selanjutnya apa yang didengar berdasarkan informasi dan dilihat berdasarkan pengalaman di lapangan akan diolah ke dalam hati sehingga muncul kesadaran.
Kesadaran itulah yang namanya ilmu.
Sumber dan proses lahirnya ilmu dan kesadaran melalui proses pendengaran, proses penglihatan dan proses ke dalaman hati nurarni.
Allah berfirman:
مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَاٰى
Hati nurani tidak akan dusta terhadap apa yang telah dilihatnya. (QS. An-Najm, 53: 11).
Hasil pendengaran semata, belum cukup, tapi lebih baiknya lagi adalah berdasarkan apa yang dilihat langsung oleh pengalaman. Namun lebih utama lagi adalah berdasarkan hati nurani.
Hakekat ilmu dan kesadaran bersumber dari dalam hati nurani yang membuat dan mendorong semakin takut kepada Allah, semakin dekat dan semakin merapat, dan semakin bersama dengan Allah.
اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُا
Hanya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba Allah adalah para ulama. (QS. Fathir, 35: 28).
Inilah yang menjadi pembeda konsep dan konstruksi ilmu dalam Islam dengan ilmu yang sekedar memuaskan selera kecerdasan inteletualitas semata, tapi kering, gersang, tandus, dan jauh dari nilai-nilai spritual dan moral agama.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab