PERAN DAN KEDUDUKAN IMAM DALAM SHALAT DAN KEHIDUPAN MASYARAKAT (Bagian Kedua)

Mungkin gambar 1 orang, berdiri dan teks yang menyatakan 'mF 345 masjid Kemenag Kalbar, 2021 107Surau'

Sebagai kelanjutan dari judul dan materi yang diposting pada tanggal 5 Maret lalu.

Materi ini telah disampaikan pada kegiatan Pelatihan Imam se-Kalimantan Barat Spesial Menyambut Ramadhan yang diikuti sekitar 280 peserta.

Kegiatan ini berlangsung di Gedung Konferensi Universitas Tangjungpura diselenggarakan oleh Yayasan al-Izzah kota Pontianak.

 

Hubungan  IMAM, AMAM, UMMAT, DAN UMMUN

 

imâm  artinya pemimpin,

Amam artinya di depan,

Ummat artinya masyarakat,

Ummun artinya ibu

Empat kata ini berasal dari akar kata dasar yang sama, yaitu berasal dari kata أمَّ – يَؤُمُّ (amma-yaummu) yang berarti menuju, harapan, tumpuan, dan panutan selalu di depan.

 

Kata imâm dan ummat dan ummi adalah tiga kata yang berasal dari akar kata dasar yang sama, yaitu tiga-tiganya berasal dari kata أمَّ – يَؤُمُّ (amma-yaummu) yang berarti menuju, harapan, tumpuan, dan panutan.

 

Hal ini bisa dipahami bahwa IMAM (PEMIMPIN dalam shalat) posisinya berada di depan (AMAM). Begitu juga IMAM (Pemimpin dalam masyarakat, bangsa dan negara) menjadi tumpuan, tertuju harapan UMMAT atau masyarakat kepada dirinya, karena dialah yang diharapkan menjadi teladan dan panutan, membawa dan mengantar masyarakat menjadi lebih baik.

 

Demikian juga, Ibu disebut UMMI, karena ibu adalah menjadi tumpuan hati dan harapan serta menjadi panutan atau teladan dalam sebuah pembinaan umat melalui rumah tangga.

Hal ini memberikan suatu indikasi bahwa di tengah-tengah UMMAT (masyarakat), ada IMAM (pemimpin), yang seharusnya posisinya di depan (AMAM) dan peran seorang ibu (UMMI) ada keterkaitan yang sangat erat.

Artinya kualitas UMMAT (masyarakat) dipengaruhi oleh kualitas IMAM (pemimpin) itu sendiri.

Sebaliknya, kualitas IMAM (pemimpin) dapat dipengaruhi dari kualitas umatnya.

Semua itu berawal dari pengaruh pendidikan rumah tangga yang banyak dimotori dan dibina oleh seorang UMMI (ibu).

Allah Ta’ala berfirman:

وَجَعَلْنٰهُمْ اَىِٕمَّةً يَّهْدُوْنَ بِاَمْرِنَا وَاَوْحَيْنَآ اِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرٰتِ وَاِقَامَ الصَّلٰوةِ وَاِيْتَاۤءَ الزَّكٰوةِۚ وَكَانُوْا لَنَا عٰبِدِيْنَ ۙ

Kami menjadikan mereka itu imam (pemimpin-pemimpin) yang memberi petunjuk atas perintah Kami dan Kami mewahyukan kepada mereka (perintah) berbuat kebaikan, menegakkan salat, dan menunaikan zakat, serta hanya kepada Kami mereka menyembah. (QS. Al-Abiya’: 73).

 

Peran Imam dalam Kehidupan Sosial Masyarakat

  1. Imam senantiasa menjaga etika dan sikap perilaku terpuji
  2. Imam sebagai contoh dan teladan
  3. Imam sebagai guru dan pembimbing
  4. Imam sebagai referensi masyarakat
  5. Imam sebagai penenang dan penyejuk umat
  6. Imam sebagai pencerah dan penyelesai masalah umat

 

Nabi SAW. juga memberi peringatan bagi seorang imam yang dinilai cacat oleh jamaah, dengan sabdanya:

ثَلَاثَةٌ لَا تُجَاوِزُ صَلَاتُهُمْ آذَانَهُمْ الْعَبْدُ الْآبِقُ حَتَّى يَرْجِعَ وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ وَإِمَامُ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ

Tiga orang yang shalatnya tidak akan melampaui telinga mereka; seorang budak yang kabur hingga ia kembali, seorang istri yang bermalam sementara suaminya dalam keadaan marah dan seorang imam bagi suatu kaum sedangkan mereka tidak suka.” (HR. Tirmidzi dari Abu Umamah).

 

Cacat yang dimaksud adalah sesuatu yang tercela menurut agama, bukan cacat masalah kepentingan dunia. Misalnya, imam suka berbuat fasik, suka berbuat dosa besar, atau cacat karena kekurangan pengetahuan dalam masalah hukum syariah, khususnya hukum-hukum ibadah shalat. Sementara di belakangnya ada orang yang lebih fasih dan alim.

 

Rasulullah SAW. mengingatkan:

وَلَا يَؤُمَّ فَاجِرٌ مُؤْمِنًا إِلَّا أَنْ يَقْهَرَهُ بِسُلْطَانٍ يَخَافُ سَيْفَهُ وَسَوْطَهُ

Tidak boleh orang fajir (Pendosa) mengimami seorang mukmin, kecuali jika ia memaksanya dengan kekuasaan yang ditakuti pedang dan cambuknya.“ (HR. Ibnu Majah dari Jabir bin Abdullah).

Rasulullah SAW. mengingatkan agar senantiasa menjaga etika

وَلا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ وَلا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلا بِإِذْنِهِ

Janganlah seorang maju menjadi imam shalat di tempat kekuasaan orang lain, dan janganlah duduk di rumah orang lain di kursi khusus milik orang tersebut, kecuali diizinkan olehnya” (HR. Muslim dari Abu Mas’ud).

 

Pemilik rumah, atau pemilik majelis, atau imam (tetap) di suatu masjid, lebih berhak untuk menjadi imam daripada yang lain. Walaupun ada orang lain yang lebih alim (berilmu agama), lebih pandai membaca Al-Qur’an dan lebih utama darinya. Pemilik tempat lebih berhak untuk menjadi imam. Ia bisa memilih apakah ia yang maju atau mempersilahkan orang lain untuk maju menjadi imam. Apabila diizinkan dan dipersilakan menjadi imam, maka tidak masalah menjadi imam.

 

Semoga Bermanfaat

 

Pontianak, 5 Maret 2023

Posted in: Fiqih

Leave a Comment