MEMAHAMI HADIS LARANGAN POTONG KUKU DAN RAMBUT PADA AWAL BULAN DZULHIJJAH

Tulisan ini setiap tahun diposting, sebab setiap tahun jelang bulan Dzulhijjah ada beberapa orang yang bertanya dan meminta agar penjelasan mengenai hadis tersebut diposting.

Ada yang bertanya, apakah hadis mengenai larangan potong kuku dan rambut bagi yang akan berkurban sahih atau daif?

Memahmi hadis bukan sekedar, mengetahui kualitasnya, sahih atau daif, tapi juga yang sangat penting adalah apa makna dan maksud hadis itu?

Bisa saja, kualitas hadisnya sahihnya, tapi cara memahaminya keliru, sehingga dalam penerapannya juga keliru.

Biasa hadisnya sahih, tapi cara memahaminya berbeda sehingga kesimpulan dan penerapannya juga berbeda.

Misalnya, ada hadis perintah berobat dengan jintam hitam atau dengan berbekam.

Apakah hadis ini memerintahkan hanya menggunakan jintam hitam saja, atau berbekam saja?
Atau hadis ini sebagai perintah berobat apabila sakit?
Atau hadis ini sebagai perintah agar selalu hidup sehat?

Adapun di antara hadisnya adalah:
Rasulullah SAW. bersabda:

عَلَيْكُمْ بِهَذِهِ الحَبَّةِ السَّوْدَاءِ فَإِنَّ فِيهَا شِفَاءً مِنْ كُلِّ دَاءٍ إِلَّا السَّامَ
Berobatlah dengan jintan hitam ini, sebab ia merupakan obat bagi segala penyakit kecuali kematian. (HR. Tirmidzi, Ahmad dan Baihaqi dari Abu Hurairah).

إِنَّ أَفْضَلَ مَا تَدَاوَيْتُمْ بِهِ الْحِجَامَةُ وَالْقُسْطُ الْبَحْرِيُّ
Sesungguhnya yang sangat utama pengobatan kalian adalah bekam dan al-qusth al-bahr (sejenis kayu-kayuan dari laut). (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Kedua hadis tersebut adalah sahih.
Hanya saja, cara memahaminya berbeda-beda.
Ada ulama yang memahaminya bahwa yang diperintahkan adalah menggunakan jintam hitam dan bekam dalam pengobatan.

Ulama lainnya berpendapat bahwa masalahnya bukan pada jintam hitam atau bekamnya, akan tetapi pokok masalahnya adalah bagaimana bisa sembuh dari sakit, yakni berobatlah apabila sakit, dengan obat apa saja selama pengobatan itu tidak melanggar syariat.

Penyebutan jintam hitam dan bekam sebagai di antara contoh pengobatan yang ada dan mungkin yang paling mudah dan terjangkau pada zaman Nabi SAW. adalah jintam hitam atau dengan cara bekam.

Ada ulama lainnya berkesimpulan memahami hadis ini sebagai perintah agar selalu hidup sehat. apalagi dalam konteks Maqashid Syariah, salah satu yang wajib hukumnya selalu dijaga adalah حفظ النفس menjaga kesehatan dan nyawa.

Demikian juga adanya perbedaan pemahamani terhadap hadis mengenai larangan potong kuku dan rambut bagi yang akan berkurban di awal bulan Dzulhijjah.

Dalam kitab Fath al-Mun’im Syarh Shahih Muslim karya Prof. Dr. Musa Syahin menyebutkan hadis mengenai masalah ini, yaitu:
إذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
(1) Apabila telah masuk 10 hari (awal Dzulhijjah) dan di antara kalian hendak berkurban, maka janganlah ia MENYENTUH sedikitpun dari rambut (bulu) dan kulitnya.

إذَا دَخَلَ الْعَشْرُ وَعِنْدَهُ أُضْحِيَّةٌ يُرِيدُ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَأْخُذَنَّ شَعْرًا وَلَا يَقْلِمَنَّ ظُفُرًا
(2) Apabila telah masuk 10 hari (awal Dzulhijjah) dan ia memiliki hewan kurban yang hendak dikurbankan, maka janganlah ia mengambil rambut (bulu) dan memotong kuku.

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِه
(3) Apabila kalian telah m,enyaksikan hilal bulan Dzulhijjah dan di antara kalian hendak berkurban, maka hendaknya ia menahan rambut (bulu) dan kuku-kukunya.

مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ هِلَالُ ذِي الْحِجَّةِ فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ.
(4) Siapa yang memiliki hewan sembelihan kurban yang hendak disembelihnya, apabila hilal Dzulhijjah, maka janganlah ia MENGAMBIL sedikitpun dari rambut (bulu) dan kuku-kukunya hingga ia berkurban.

Semua hadis ini diriwayatkan imam Muslim dan semuanya bersumber dari Ummu Salamah istri Nabi SAW.

Selain itu, imam Abu Daud, Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban juga meriwayatkan dengan redaksi bahasa yang sedikit berbeda, namun maksudnya sama. Semuanya bersumber dari Ummu Salamah.

Mengenai kualitas hadis dari sisi teks dan sanadnya tidak ada perbedaan pendapat para ulama.

Hanya saja, masalah pemahaman maknanya, terjadi perbedaan di kalangan para ulama.

Apakah yang dilarang dipotong rambut dan kuku orang yang akan berkurban atau rambut dan kuku hewan yang akan dikurbankan?

PENDAPAT PERTAMA, bahwa yang dilarang dipotong adalah rambut dan kuku orang yang akan berkurban.

Lalu apa implikasi larangan ini, apakah bersifat, haram, makruh, himbauan, atau larangan yang dimaksud dalam hadis ini dalam konteks jamaah haji yang sedang ihram yang tidak boleh memotong kuku dan rambutnya?

Para ulama sudah menjelaskan dan menguraikan masalah ini, misalnya Imam an-Nawawi (1277 M) dan Syekh Musa Syahin (2009) yang memberikan Syarh atau menguraikan makna hadis-hadis Sahih Muslim, serta Syekh Wahbah az-Zuhailiy (2015) dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu yang menguraikan masalah ini terdapat beberapa pendapat para ulama, antara lain:

  1. Larangan ini bersifat haram. Pendapat ini dianut oleh sebagian pengikut madzhab Ahmad bin Hambal.
  2. Larangan ini hanya bersifat makruh, karena ada hadis lainnya bersumber dari Aisyah, katanya Nabi SAW. pernah mengikat hewan-hewan kurban lalu mengirimkannya, Beliau tidak ada mengharamkan sesuatu apa pun yang Allah telah halalkan baginya hingga menyembelihnya. (HR. Sepakat Bukhari dan Muslim).

Pendapat ini dianut oleh ulama madzhab Syafi’i, madzhab Malik, dan kebanyakan juga pengikut dari madzhab Ahmad bin Hambal.

  1. Ada sebagian berpendapat bahwa kurban dan haji keduanya tidak terpisahkan, maka larangan dalam berkurban itu kaitannya dengan orang yang sedang melaksanakan ibadah haji, sebagaimana firman Allah:

وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ
Janganlah kamu mencukur (rambut) kepalamu sebelum hewan kurban sampai pada tempat penyembelihannya. (QS. al-Baqarah: 196).

Berdasar ini, maka memotong rambut dan kuku tidak makruh, apalagi haram. Sifatnya mubah, boleh-boleh saja. Pendapat inilah yang dipahamai dan diianut dalam madzhab Abu Hanifah.

PENDAPAT KEDUA. bahwa yang dilarang dipotong dalam hadis di atas adalah rambut dan kuku hewan yang hendak dikurbankan.

Dalam kajian fiqh ulama klasik, pendapat seperti ini disebut garib menyalahi pendapat mayoritas ulama. Al-Qari mengutip pendapat Abdul Malik yang disebutnya sebagai pendapat garib, bahwa yang dilarang adalah memotong kuku dan bulu hewan kurban.

Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub (1952-2016) Alumni S1 dan S2 Universitas Imam Muhammad bin Saud di Riyadh Saudi Arabia Jurusan Syariah dan Tafsir Hadis, Pendiri dan Pimpinan Pondok Pesantren Darussunnah Ciputat dalam bukunya ath-Thuruq ash-Shahihah fi Fahm as-Sunnah an-Nabawiyyah menjelaskan bahwa terjadinya perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena masalah dhamir (kata ganti) ha (nya) pada kata شعره, بشره, ظفره (rambut-nya, kulit-nya, dan kuku-nya).

Pendapat pertama di atas, kata ganti “nya” kembalinya kepada orang yang akan berkurban, maka yang dilarang adalah memotong rambut dan kuku orang yang akan berkurban.

Sedangkan pendapat kedua, kata ganti “nya” kembali kepada hewan kurban, maka yang dilarang adalah memotong rambut dan kuku hewan kurban.

Beliau menganut pendapat yang kedua, dengan alasan bahwa memahami hadis larangan di atas harus dihubungkan dengan hadis lainnya, yaitu hadis bersumber dari Aisyah ISTRI Rasulullah SAW. Rasulullah SAW. bersabda:

مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهُ لَيَأْتِي يَوْمَ القِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنَ الأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا
‘Tidak ada amal manusia pada hari kurban yang lebih dicintai Allah dari menyembelih hewan kurban. Pada hari kiamat nanti, hewan tersebut akan datang dengan tanduknya, bulunya, dan kukunya. Aliran darahnya sungguh akan sampai kepada Allah di sebuah tempat sebelum menetes ke tanah. Maka, perbaguslah diri kalian dengan hewan kurban.” (HR. Tirmidzi).

Dalam hadis lainnya mengenai kurban ini, Rasulullah SAW. bersabda:

لِصَاحِبِهَا بِكُلِّ شَعَرَةٍ حَسَنَةٌ وَيُرْوَى بِقُرُونِهَا
Setiap helai rambut (bulu hewan) adalah kebaikan bagi pemiliknya yang berkurban. Dalam riwayat lainnya, disebutkan, pada setiap tanduknya. (HR. Tirmidzi).

Kata Beliau:
فالعلة في تحريم قطع الشعر والأظافر ليكون ذلك شاهدا لصاحبها يوم القيامة وهذا الإشهاد إنما يناسب إذا كان المحرم من القطع شعر الأضحية وأظافرها، لا شعر المضحى
‘Illat (faktor penyebab) dilarang memotong rambut dan kuku hewan kurban adalah agar semuanya akan menjadi saksi nanti di hari kiamat bagi pemiliknya yang berkurban.
Kesaksian hewan kurban ini hanya relevan apabila mengacu pada pemahaman bahwa yang dilarang adalah memotong rambut dan kuku hewan kurban, bukan rambut dan kuku orang yang akan berkurban.

Dengan demikian, jelas bahwa ulama yang memahami bahwa larangan dalam hadis tersebut berimplikasi sampai haram ada pada sebagian dari pengikut madzhab Ahmad bin Hambal.

Sedangkan ulama yang memahami bahwa larangan itu hanya bersifat makruh, adalah mayoritas ulama madzhab Syafi’iy, madzhab Malik, dan kebanyakan juga dari pengikut madzhab Ahmad bin Hambal.

Sementara lainnya tidak sedikit juga yang memahami bahwa tidak makruh dan tidak haram, tapi mubah alias boleh, apalagi yang memahaminya bahwa yang dilarang adalah memotong rambut dan kuku hewan kurban, bukan kepada orang yang akan berkurban.

Perbedaan dan keragaman pemahaman para ulama tersebut dalam memahami hadis-hadis seperti ini merupakan khazanah kekayaan bagi peradaban umat Islam yang punya kecenderungan dan pilihan yang beragam dengan situasi dan konteks yang beraneka ragam.

Bagi mereka yang tidak ada keperluan untuk memotong kuku, rambut, atau bulu-bulu lainnya yang ada pada dirinya sebaiknya untuk tidak memotongnya.
Bagi mereka yang merasa perlu memotong, misalnya kukunya panjang dan bisa menjadi penghalang air wudhu atau mandi junub atau mandi hadats besar sehingga air tak menyentuh bagian tubuh di bawah kuku dan rambutnya, maka boleh bahkan jadi perlu potong kuku atau rambutnya.

Begitu juga rambut atau bulu-bulu lainnya yang di tubuhnya, seperti kumis, bulu ketiak dan bulu-bulu lainnya sudah panjang merasa perlu memotongnya, termasuk ketika hari jumat, yang salah satu sunatnya adalah potong kuku atau bulu lainnya,

Wallahu A’lam bi ash-Shawab.

Semoga Bermanfaat.

Pontianak, Jumat,1 Juli 2022 M/1 Dzulhijjah 1443 H

Posted in: Uncategorized

Leave a Comment