PUASA RAMADHAN TARGET DAN PROSES PENCAPAIANNYA (Bekal Persiapan Menyambut Ramadhan)

Sebagaimana biasa Pengkajian Hadis rutin Ahad malam di Masjid Raya Mujahidin Pontianak, kali ini bertepatan tanggal 21 Sya’ban 1422 H, mengingat satu pekan lagi akan memasuki bulan Suci Ramadhan, maka pembahasannya tentang Ramadhan: target dan proses pencapaiannya. Sekaligus ini merupakan bekal persiapan menyambut Ramadhan.
Pembahasan mengenai Puasa Ramadhan dasarnya bukan hanya ayat 183 surat al-Baqarah, akan tetapi ada lima ayat dalam al-Qur’an, mulai ayat 183 sampai 187 surat al-Baqarah.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Secara singkat, ayat pertama tentang puasa ini berbicara dan menegaskan antara lain: hukum puasa dan target pencapaian puasa.
Pertama, Hukum puasa adalah Wajib sebagaimana disebutkan كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ (telah ditetapkan kewajiban puasa kepada kamu). Kedua targetnya, adalah menjadi pribadi mulia yang bertakwa, لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (agar kamu bertakwa).
Ayat ini bukan sekedar bicara masalah ibadah ritual puasa, tapi sesungguhnya bisa menjadi pelajaran dan hikmah dalam manajemen hidup.
Dalam merancang berbagai kegiatan dalam kehidupan, sebaiknya sejak awal sudah harus jelas status kegiatan itu apa? Apakah kegiatan itu bersifat utama, pokok, induk atau sekedar pelengkap saja? Demikian juga, harus jelas target yang ingin dicapai dalam kegiatan itu. Target bisa diketahui, tercapai atau gagal, atau tercapai hanya tidak maksimal, tentu berdasarkan evaluasi, yakni muhasabah diri.
Sesungguhnya Berpuasa bukan sekedar untuk memperbanyak pahala, akan tetapi perlu pencapaian target, untuk peningkatan kualitas diri menjadi pribadi mulia. Semoga target puasa tahun ini akan menjadi lebih baik dan meningkat dibandingkan dari beberapa tahun sebelumnya.
Setelah menegaskan lebih awal atau pertama kali target puasa, pada ayat 183, lalu penjelasan mengenai prosedur atau mekanisme puasa justru pada ayat terakhir yaitu ayat 187 tentang perintah makan sahur dan perintah berbuka puasa.
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam. (QS. al-baqarah: 187).
Aturan, prosedur, atau mekanisme, inilah namanya syariat.
Penetapan aturan syariat selalu mengacu pada pencapain terget.
Kewajiban puasa ini target utamanya adalah pencapaian takwa. Beragama bukan sekedar Syar’i, sesuai aturan syariat. Antara target dan aturan syariat tidak bisa dipisahkan, dua-duanya harus berbarengan.
Dalam konteks inilah, Syekh Muhammad Amin al-Kurdi dalam kitabnya Tanwir al-Qulub dan juga imam al-Qusyairi mengatakan:
الشريعة بلا حقيقة عاطلة
والحقيقة بلا شريعة باطلة
Syariat tanpa hakekat adalah nihil alias kosong.
Hakekat tanpa syariat adalah batil
Proses pencapaian Takwa dijelaskan oleh banyak hadis Rasulullah SAW. yang ditandai dengan antara lain:
1. Membiasakan manusia selalu merasa berada dalam pengawasan Allah atau menghadirkan Allah dalam kehidupan setiap saat. Minimal setiap memulai sesuatu kebaikan dengan membaca Bismillahirrahmanirrahim, mengakhirinya dengan membaca alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.
2. Menumpulkan ketajaman syahwat dan menjadikan jiwa dapat memalingkan segala potensi syahwat kepada hal-hal yang diridhai Allah.
3. Menanamkan rasa solidaritas sosial dan kasih sayang.
4. Menciptakan rasa persamaan
5. Membiasakan hidup secara teratur.
6. Menjaga hati, mulut, tangan, dan jari-jemari dari penyebaran hoax dan fitnah.
Rasulullah SAW. bersabda:
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ
Puasa itu bukanlah hanya sekedar tidak makan dan tidak minum. Sesungguhnya puasa itu adalah menahan diri dari perbuatan sia-sia dan perkataan jorok dan buruk. (HR. Ibnu Khuzaimah dari Abu Hurairah).
Dalam hadis lainnya, Rasulullah SAW. bersabda:
وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ يَوْمَئِذٍ وَلَا يَسْخَبْ
Puasa itu adalah benteng, perisai, proteksi diri. Jika salah seorang di antara kalian sedang berpuasa , maka janganlah ia berkata-kata cabul atau jorok, dan marah-marah. (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Pada ayat pertama tentang target puasa dan ayat terakhir tentang prosedur cara berpuasa, tengah-tengahnya, yakni ayat 184 dan 185 berbicara tentang kebijakan, dispensasi atau keringanan puasa bagi kalangan tertentu. Seperti orang sakit dan musafir, boleh tidak berpuasa, tapi wajib menggantinya dengan qadha puasa. Demikian juga bagi orang tua renta yang sudah lanjut usia tak mampu berpuasa, diberi keringanan tidak puasa, tapi wajib membayar fidyah.
Kebijakan dan keringanan ini menunjukkan bahwa Islam ini adalah agama yang sangat manusiawi, sangat memanusiakan manusia, agama cinta dan agama damai, jauh dari kekerasan, jauh dari kekejian, jauh dari penyiksaan dan pembunuhan.
Suatu saat di Madinah, Nabi SAW. melihat banyak orang yang sedang mengerumuni seseorang. Lalu Nabi SAW. mendekati mereka dan bertanya: “Ada kalian? Mereka: “Ini ya Rasulullah, ada seorang musafir sedang kehausan (kelaparan) mempertahankan puasanya hingga dia pingsan”. Mendengar penbjelasan ini. Nabi SAW. meresponnya dengan kalimat:
لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ وَعَلَيْكُمْ بِرُخْصَةِ اللهِ الَّتِي رَخَّصَ لَكُمْ فَاقْبَلُوهَا
Bukanlah suatu kebajikan berpuasa ketika sedang musafir (perjalanan jauh yang menyusahkan). Allah telah memberikan keringanan kepada kalian, maka terimalah keringanan itu. (HR. Abu Daud).
Islam adalah agama yang sangat menghargai kesehatan dan nyawa. Puasa, boleh dibatalkan bahkan wajib dibatalkan apabila nyawa terancam. Jangan sampai dikira mati syahid karena memaksakan diri berpuasa, dalam kondisi nyawa terancam, padahal mati sakit bertentangan dengan agama, bukan mati syahid.
Shalat boleh digabung (dijamak) dan diringkas (qashar) semuanya karena mempertimbangkan kesehatan dan keselamatan nyawa.
Ada lima hal yang wajib dijaga sebagai Maqashid Syariah (tujuan penetapan hukum Syariat), salah satunya Hifzhul an-Nafsi (menjaga keselamatan nyawa).
Pada ayat 186 berbicara tentang doa. Hubungan puasa dan Ramadhan dengan doa adalah satu paket, terutama di saat buka puasa serta sahur adalah doa sangat mustajab. Berdoa menunjukkan bahwa kita selalu memerlukan Allah dalam kehidupan. Orang yang cuek dan tak mau berdoa, Allah akan marah kepadanya karena seperti tidak memerlukan kehadiran Allah. Berdoa juga membuat kita semakin tawadhu’ rendah hati, bahwa kita manusia ini tidak ada apa-apanya, semuanya Allah yang Maha Menentukan segalanya.
Semoga bermanfaat bekal persiapan menyambut Ramadhan1442 H.
Pontianak, 4 April 2021.
Posted in: Fiqih, Kajian Islam

Leave a Comment