Dibaca 320
Para ulama hadis, telah merumuskan dan menyusun banyak cara
atau metode dalam memahami makna hadis dan mengaplikasikannya, antara lain dengan
kaedah:
التمييز
بين الوسيلة المتغيرة والهدف الثابت للحديث
At-Tamyiz baina al-wasilah al-mutagayyirah wa al-hadaf ats-tsabit li
al-hadits
(Membedakan antara sarana yang bisa berubah-ubah dan tujuan tetap yang
diungkapkan dalam hadis).
Contohnya: Hadis yang
diriwayatkan dari Aisyah, Nabi SAW. bersabda:
السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ
مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ
Bersiwak adalah membersihkan
mulut-gigi sekaligus mendapatkan Ridha Allah. (HR. Bukhari).
Menerapkan kaedah memahami
hadis tersebut, maka harus diperhatikan teks hadis ini, mana sebagai sarana dan
mana sebagai tujuan. Dalam hadis ini, secara teks adalah perintah bersiwak
(sikat gigi). Pertanyaannya, apakah siwak sebagai sarana atau sebagai tujuan?
Jawabannya siwak adalah sarana
atau alat. Apa tujuan bersiwak? Tujuannya adalah untuk membersihkan mulut dan
gigi untuk memperoleh ridha Allah.
Oleh karena siwak sebagai
sarana, makai ia bisa berubah-ubah sesuai perubahan perkembangan zaman, budaya
dan tempat. Pada zaman Nabi SAW. siwak yang biasa digunakan adalah yang diambil
dari ranting pucuk pohon kayu arak, arjun, zaitun atau lainnya yang tidak
melukai, tidak mengganggu, dan tidah mudah hancur. Inilah bahan baku yang
dipakai bersiwak mudah didapat pada zamannya. Ketika masyarakat muslim yang
tinggal di daerah yang tidak ada pohon seperti ini, maka mereka bisa bersiwak
atau sikat gigi dengan menggunakan bahan lainnya selama tidak mengganggu,
merusak, atau melukai gigi dan mulut. Misalnya di Indonesia atau di negara
lainnya, sikat gigi menggunakan bahan yang terbuat dari plastik, atau lainnya
merek pepsodent, oral B, dan lain-lain. Alat atau sarana bersiwak bisa beragam,
bermacam-macam, dan berubah-ubah, tapi tujuannya sama dan tetap yaitu dapat
membersihkan mulut dan gigi. Ketika bangun tidur, mau wudhu, mau shalat, mau
keluar dari rumah, lalu sikat gigi menggunakan merek pepsoden atau oral-B, maka
sudah termasuk menjalankan dan mempraktekkan sunnah Nabi SAW. menjaga
kebersihan dan kesehatan mulut dan gigi, walau tidak persis sama alat dan
bendanya yang pernah digunakan pada zaman Nabi SAW.
Dengan kaedah ini juga bisa
dipahami, bahwa pakaian pada zaman Nabi SAW. yang tinggal di Timur Tengah,
beragam dan berbeda dengan pakaian di Indonesia atau di negara lain, ada
sarung, batik, kemeja, jas, dan lainnya. Bisa berubah-ubah sesuai perubahan perkembangan
zaman, budaya dan daerah. Tujuannya sama dan tetap yaitu menutup aurat, indah,
rapi, nyaman, sehat, dan tidak merusak. Pada zaman nabi SAW. biasa menggunakan
kendaraan onta atau kuda sebagai sarana transportasi dan Ketika berperang
menggunakan senjata pedang dan panah. Sekarang dan dimana pun pasti sarana
transportasinya berubah sesuai perubahan perkembangan zaman. Tapi tujuannya tetap
sama yaitu mempercepat dan mudah sampai pada tujuan perjalanan. Sekarang kalua
berperang, tidak lagi menggunakan pedang, panah, celurit, tapi harus
menggunakan senjata yang lebih canggih, seperti bom, nuklir, dan lainnya. Tujuannya tetap sama, yaitu
meraih kemenangan. Demikian juga media pembelajaran, dan pendidikan, media
pengobatan, bisa berubah-ubah sesuai perubahan perkembangan zaman. Tapi tujuannya
tetap sama, yaitu mempermudah dan mempercepat pemahaman bagi peserta didik, pengobatan
untuk mempermudah dan cepat sembuh dari penyakit.
Ada
hadis bersumber dari Ka’ab bin Malik, ia meriwayatkan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْكُلُ بِثَلاَثِ أَصَابِعَ فَإِذَا فَرَغَ لَعِقَهَا
Rasulullah SAW. makan menggunakan tiga jari. Apabila
selesai makan, beliau menjilati jari-jarinya. (HR. Muslim).
Berdasarkan teks hadis ini, kita makan harus menggunakan
tiga jari dan seusai makan, menjilati jari-jari tangan.
Masalahnya utamanya, ada pada tiga jari dan jilatannya?
Atau pada tujuannya?
Ulama menjelaskan bahwa tujuan utama
yang dikehendaki dalam praktek makan tersebut adalah adalah etika makan dengan
sikap rendah hati dan penghargaan terhadap karunia rezki dan nikmat Allah SWT.
dalam makanan, maksudnya adalah bersikap tawadhu’ dan syukur serta
sederhana.
Perintah membersihkan tangan sesudah
makan tidak mesti harus dengan menjilatinya, tapi bisa saja dengan cara lain
yang lebih sederhana, praktis, dan bersih. Begitu juga tidak harus dengan tiga
jari, apalagi jenis makanan berkuah, misalnya bubur ayam, indomie, dan lainnya.
Mungkin pakai sendok, garfu dan lainnya yang relevan dan sesuai dengan etika
dan agama.
Menggunakan kaedah ilmu hadis
seperti ini dalam memahami sikap dan perilaku kehidupan Rasulullah SAW. sehari-hari
dihubungkan dengan konteks masa perkembangan kehidupan kita saat ini menjadi
penting, sehingga aplikasi makna hadis selalu relevan.
Ketika mengabaikan kaedah dan rumus
memahami hadis, maka biasanya muncul istilah pokoknya ada hadisnya, kita
mengamalkan sesuai hadis. Kalau tidak ada hadis, tidak boleh, kalau tetap
dilakukan itu namanya bid’ah.
ISLAM SHALIHUN LI KULLI ZAMAN WA
MAKAN. Ajaran Islam tidak pernah ketinggalan zaman, apalagi bertentangan, Islam
selalu memberi solusi dan maslahah, kapan dan di mana pun.
Lalu bagaimana dengan zakat fitrah?
Saat ini, akhir bulan Ramadhan, musim
zakat fitrah.
Apakah membayar zakat fitrah
menggunakan gandum, kurma, anggur, kismis, sebagaimana pada zaman Nabi SAW?
atau menggunakan beras, jagung, sagu atau makanan pokok lainnya, seperti di
Indonesia dan negara lainnya?
Kembali pada kaedah memahami hadis
tadi, antara teks dan tujuan.
Kalau berdasarkan teks, maka
harusnya sesuai praktek pada zaman Rasulullah SAW., yaitu pakai kurma, gandum,
dan anggur. Atau berdasarkan tujuan perintah zakat fitrah?
Atau menggunakan
kaedah ushul fiqh. Dalam kajian Ushul fiqh, karakteristik ajaran Islam,
dibedakan antara ajaran Islam yang bersifat Ta’abbudi dan bersifat Ta’aqquli.
Apakah zakat
fitrah ini termasuk Ta’abbudi atau Ta’aqquli?
Kalau bersifat
Ta’abbudi, maka prosesi pelaksanaannya semata-mata untuk ibadah pendekatan diri
kepada Allah, tidak mengalami perkembangan zaman.
Kalau termasuk
Ta’aqquli, maka penetapan hukumnya dapat dinalar, ditelusuri mengapa dan apa
tujuan zakat fitrah?
Dalam konteks
inilah para ulama fikih berbeda-beda cara pandangnya.
Menurut
kebanyakan Ulama madzhab Syafi’iy, Malik, dan Ahmad bin Hambal, tetap mengacu
pada tekstual hadis tentang zakat fitrah, sebagaimana yang disebutkan dalam
hadis berupa makanan pokok, seperti gandum, kurma, anggur, atau pun beras.
Sedangkan ulama
madzhab Abu Hanifah dan ulama yang sependapat dengannya, berpandangan bahwa
zakat fitrah boleh dibayarkan dengan uang yang senilai dengan makanan pokok
yang dikeluarkan, karena berdasarkan pada tujuan zakat fitrah.
Dr. Muhammad
Nawawi Yahya al-Mandariy dalam Disertasinya berjudul az-Zakah wa an-Nuzhum
al-Ijtima’iyyah al-Mu’ashirah pada Jilid ke VI membahas dan mendiskusikan
problematika zakat fitrah ini sampai 170 halaman (2223-2397). Beliau membedah
dan mendialogkan multi analsis tekstual, kontekstual, yuridis, falsafah
tasyri’, dan maqashid asy-syariah.
Khusus masalah
ini Beliau menulis sub judul: berupa pertanyaan:
هل يجزئ اخراج القيمة في زكاة
الفطر؟
(Apakah boleh mengeluarkan zakat fitrah dengan menggunakan uang
senilai harganya?)
Bertolak dari pertanyaan ini, Beliau menjawabnya dengan mendialogkan dua
pandangan yang berbeda. Dua pandangan yang berbeda ini sama-sama menggunakan
hadis dan riwayat, hanya cara dan metodologi pengambilan hukumnya yang berbeda.
Pertama para ulama yang membolehkan mengeluarkan zakat fitrah dengan uang,
seperti Abu Hanifah dan sahabatnya, ats-Tsauri, al-Hasan al-Bashri, Umar bin
Abdul Aziz, dengan tujuh alasan hujjah, antara lain:
Sesungguhnya
hakekat perintah mengeluarkan zakat fitrah tujuannya adalah membuat orang-orang
miskin merasa cukup memenuhi keperluan hidupnya, sebagaimana dalam hadis perintah
Rasulullah SAW.:
أغنوهم
عن المسألة في مثل هذا اليوم
Buatlah mereka bisa cukup dari keperlkuan hidupnya pada hari
ini.
Keperluan hidup bisa dicukupi dan dipenuhi dengan adanya
uang sebagaimana bisa terpenuhi dengan makanan, akan tetapi jauh lebih utama
dan sempurna dengan uang sebab bisa membeli berbagai keperluan hidup lainnya.
Apabila mereka hanya diberi berupa makanan, maka mereka bisa saja menjual
makanan itu, agar mendapatkan uang untuk membeli keperluan pakaian dan santapan
makanan lainnya.
Kedua, ulama yang
berpandangan bahwa zakat fitrah tidak boleh dengan uang, seperti imam Syafi’i,
Ahmad bin Hambal, Malik, Ibnu al-Mundzir, Daud azh-Zhahiri. Mereka mengemukakan
lima alasan hujjah, antara lain bahwa sesungguhnya yang diwajibkan dikeluarkan
zakat fitrah yang diperintahkan dalam teks hadis adalah jenis-jenis makanan tertentu.
Apabila diganti dengan uang, maka itu berarti meninggalkan kewajiban. Kewajiban
zakat fitrah, selain untuk memenuhi kebutuhan orang-orang miskin juga sebagai
wujud rasa syukur terhadap nikmat rezeki berupa makanan itu, maka
mengeluarkannya harus sesuai jenis makanan tersebut.
Pada bagian akhir, setelah memaparkan berbagai pandangan yang berbeda-beda secara
kritis tersebut, Dr. Muhammad Nawawi mengambil kesimpulan dan sikap bahwa
pendapat yang kami pilih adalah pendapat yang membolehkan membayar zakat fitrah
dengan nilai uang. Alasannya dengan uang sangat memudahkan sesuai keperluan dan
tuntutan kontenporer saat ini, terutama masyarakat yang tinggal di wilayah
dimana transaksi keperluan hidupnya hampir semuanya dengan nilai uang, termasuk
sangat bermanfaat bagi masyarakat miskin.
Semoga Bermanfaat.
Wajidi Sayadi
Pontianak, 27 Ramadhan 1441 H/20 Mei 2020