Memahami Hadis: antara Teks dan Tujuan

Para ulama hadis, telah merumuskan dan menyusun banyak cara atau metode dalam memahami makna hadis dan mengaplikasikannya, antara lain dengan kaedah:

التمييز بين الوسيلة المتغيرة والهدف الثابت للحديث

At-Tamyiz baina al-wasilah al-mutagayyirah wa al-hadaf ats-tsabit li al-hadits

(Membedakan antara sarana yang bisa berubah-ubah dan tujuan tetap yang diungkapkan dalam hadis).

Contohnya: Hadis yang diriwayatkan dari Aisyah, Nabi SAW. bersabda:

السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ

Bersiwak adalah membersihkan mulut-gigi sekaligus mendapatkan Ridha Allah. (HR. Bukhari).

Menerapkan kaedah memahami hadis tersebut, maka harus diperhatikan teks hadis ini, mana sebagai sarana dan mana sebagai tujuan. Dalam hadis ini, secara teks adalah perintah bersiwak (sikat gigi). Pertanyaannya, apakah siwak sebagai sarana atau sebagai tujuan?

Jawabannya siwak adalah sarana atau alat. Apa tujuan bersiwak? Tujuannya adalah untuk membersihkan mulut dan gigi untuk memperoleh ridha Allah.

Oleh karena siwak sebagai sarana, makai ia bisa berubah-ubah sesuai perubahan perkembangan zaman, budaya dan tempat. Pada zaman Nabi SAW. siwak yang biasa digunakan adalah yang diambil dari ranting pucuk pohon kayu arak, arjun, zaitun atau lainnya yang tidak melukai, tidak mengganggu, dan tidah mudah hancur. Inilah bahan baku yang dipakai bersiwak mudah didapat pada zamannya. Ketika masyarakat muslim yang tinggal di daerah yang tidak ada pohon seperti ini, maka mereka bisa bersiwak atau sikat gigi dengan menggunakan bahan lainnya selama tidak mengganggu, merusak, atau melukai gigi dan mulut. Misalnya di Indonesia atau di negara lainnya, sikat gigi menggunakan bahan yang terbuat dari plastik, atau lainnya merek pepsodent, oral B, dan lain-lain. Alat atau sarana bersiwak bisa beragam, bermacam-macam, dan berubah-ubah, tapi tujuannya sama dan tetap yaitu dapat membersihkan mulut dan gigi. Ketika bangun tidur, mau wudhu, mau shalat, mau keluar dari rumah, lalu sikat gigi menggunakan merek pepsoden atau oral-B, maka sudah termasuk menjalankan dan mempraktekkan sunnah Nabi SAW. menjaga kebersihan dan kesehatan mulut dan gigi, walau tidak persis sama alat dan bendanya yang pernah digunakan pada zaman Nabi SAW. 

Dengan kaedah ini juga bisa dipahami, bahwa pakaian pada zaman Nabi SAW. yang tinggal di Timur Tengah, beragam dan berbeda dengan pakaian di Indonesia atau di negara lain, ada sarung, batik, kemeja, jas, dan lainnya. Bisa berubah-ubah sesuai perubahan perkembangan zaman, budaya dan daerah. Tujuannya sama dan tetap yaitu menutup aurat, indah, rapi, nyaman, sehat, dan tidak merusak. Pada zaman nabi SAW. biasa menggunakan kendaraan onta atau kuda sebagai sarana transportasi dan Ketika berperang menggunakan senjata pedang dan panah. Sekarang dan dimana pun pasti sarana transportasinya berubah sesuai perubahan perkembangan zaman. Tapi tujuannya tetap sama yaitu mempercepat dan mudah sampai pada tujuan perjalanan. Sekarang kalua berperang, tidak lagi menggunakan pedang, panah, celurit, tapi harus menggunakan senjata yang lebih canggih, seperti bom, nuklir,  dan lainnya. Tujuannya tetap sama, yaitu meraih kemenangan. Demikian juga media pembelajaran, dan pendidikan, media pengobatan, bisa berubah-ubah sesuai perubahan perkembangan zaman. Tapi tujuannya tetap sama, yaitu mempermudah dan mempercepat pemahaman bagi peserta didik, pengobatan untuk mempermudah dan cepat sembuh dari penyakit.

Ada hadis bersumber dari Ka’ab bin Malik, ia meriwayatkan:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْكُلُ بِثَلاَثِ أَصَابِعَ فَإِذَا فَرَغَ لَعِقَهَا

Rasulullah SAW. makan menggunakan tiga jari. Apabila selesai makan, beliau menjilati jari-jarinya. (HR. Muslim).

Berdasarkan teks hadis ini, kita makan harus menggunakan tiga jari dan seusai makan, menjilati jari-jari tangan.

Masalahnya utamanya, ada pada tiga jari dan jilatannya? Atau pada tujuannya?

Ulama menjelaskan bahwa tujuan utama yang dikehendaki dalam praktek makan tersebut adalah adalah etika makan dengan sikap rendah hati dan penghargaan terhadap karunia rezki dan nikmat Allah SWT. dalam makanan, maksudnya adalah bersikap tawadhu’ dan syukur serta sederhana.

Perintah membersihkan tangan sesudah makan tidak mesti harus dengan menjilatinya, tapi bisa saja dengan cara lain yang lebih sederhana, praktis, dan bersih. Begitu juga tidak harus dengan tiga jari, apalagi jenis makanan berkuah, misalnya bubur ayam, indomie, dan lainnya. Mungkin pakai sendok, garfu dan lainnya yang relevan dan sesuai dengan etika dan agama.   

Menggunakan kaedah ilmu hadis seperti ini dalam memahami sikap dan perilaku kehidupan Rasulullah SAW. sehari-hari dihubungkan dengan konteks masa perkembangan kehidupan kita saat ini menjadi penting, sehingga aplikasi makna hadis selalu relevan.

Ketika mengabaikan kaedah dan rumus memahami hadis, maka biasanya muncul istilah pokoknya ada hadisnya, kita mengamalkan sesuai hadis. Kalau tidak ada hadis, tidak boleh, kalau tetap dilakukan itu namanya bid’ah.

ISLAM SHALIHUN LI KULLI ZAMAN WA MAKAN. Ajaran Islam tidak pernah ketinggalan zaman, apalagi bertentangan, Islam selalu memberi solusi dan maslahah, kapan dan di mana pun.  

Lalu bagaimana dengan zakat fitrah?

Saat ini, akhir bulan Ramadhan, musim zakat fitrah.

Apakah membayar zakat fitrah menggunakan gandum, kurma, anggur, kismis, sebagaimana pada zaman Nabi SAW? atau menggunakan beras, jagung, sagu atau makanan pokok lainnya, seperti di Indonesia dan negara lainnya?

Kembali pada kaedah memahami hadis tadi, antara teks dan tujuan.

Kalau berdasarkan teks, maka harusnya sesuai praktek pada zaman Rasulullah SAW., yaitu pakai kurma, gandum, dan anggur. Atau berdasarkan tujuan perintah zakat fitrah?

Atau menggunakan kaedah ushul fiqh. Dalam kajian Ushul fiqh, karakteristik ajaran Islam, dibedakan antara ajaran Islam yang bersifat Ta’abbudi dan bersifat Ta’aqquli.

Apakah zakat fitrah ini termasuk Ta’abbudi atau Ta’aqquli?

Kalau bersifat Ta’abbudi, maka prosesi pelaksanaannya semata-mata untuk ibadah pendekatan diri kepada Allah, tidak mengalami perkembangan zaman.

Kalau termasuk Ta’aqquli, maka penetapan hukumnya dapat dinalar, ditelusuri mengapa dan apa tujuan zakat fitrah?

Dalam konteks inilah para ulama fikih berbeda-beda cara pandangnya.

Menurut kebanyakan Ulama madzhab Syafi’iy, Malik, dan Ahmad bin Hambal, tetap mengacu pada tekstual hadis tentang zakat fitrah, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis berupa makanan pokok, seperti gandum, kurma, anggur, atau pun beras.

Sedangkan ulama madzhab Abu Hanifah dan ulama yang sependapat dengannya, berpandangan bahwa zakat fitrah boleh dibayarkan dengan uang yang senilai dengan makanan pokok yang dikeluarkan, karena berdasarkan pada tujuan zakat fitrah.

Dr. Muhammad Nawawi Yahya al-Mandariy dalam Disertasinya berjudul az-Zakah wa an-Nuzhum al-Ijtima’iyyah al-Mu’ashirah pada Jilid ke VI membahas dan mendiskusikan problematika zakat fitrah ini sampai 170 halaman (2223-2397). Beliau membedah dan mendialogkan multi analsis tekstual, kontekstual, yuridis, falsafah tasyri’, dan maqashid asy-syariah.

Khusus masalah ini Beliau menulis sub judul: berupa pertanyaan:

هل يجزئ اخراج القيمة في زكاة الفطر؟

(Apakah boleh mengeluarkan zakat fitrah dengan menggunakan uang senilai harganya?)

Bertolak dari pertanyaan ini, Beliau menjawabnya dengan mendialogkan dua pandangan yang berbeda. Dua pandangan yang berbeda ini sama-sama menggunakan hadis dan riwayat, hanya cara dan metodologi pengambilan hukumnya yang berbeda. Pertama para ulama yang membolehkan mengeluarkan zakat fitrah dengan uang, seperti Abu Hanifah dan sahabatnya, ats-Tsauri, al-Hasan al-Bashri, Umar bin Abdul Aziz, dengan tujuh alasan hujjah, antara lain:

Sesungguhnya hakekat perintah mengeluarkan zakat fitrah tujuannya adalah membuat orang-orang miskin merasa cukup memenuhi keperluan hidupnya, sebagaimana dalam hadis perintah Rasulullah SAW.:

أغنوهم عن المسألة في مثل هذا اليوم   

Buatlah mereka bisa cukup dari keperlkuan hidupnya pada hari ini.

Keperluan hidup bisa dicukupi dan dipenuhi dengan adanya uang sebagaimana bisa terpenuhi dengan makanan, akan tetapi jauh lebih utama dan sempurna dengan uang sebab bisa membeli berbagai keperluan hidup lainnya. Apabila mereka hanya diberi berupa makanan, maka mereka bisa saja menjual makanan itu, agar mendapatkan uang untuk membeli keperluan pakaian dan santapan makanan lainnya.

Kedua, ulama yang berpandangan bahwa zakat fitrah tidak boleh dengan uang, seperti imam Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Malik, Ibnu al-Mundzir, Daud azh-Zhahiri. Mereka mengemukakan lima alasan hujjah, antara lain bahwa sesungguhnya yang diwajibkan dikeluarkan zakat fitrah yang diperintahkan dalam teks hadis adalah jenis-jenis makanan tertentu. Apabila diganti dengan uang, maka itu berarti meninggalkan kewajiban. Kewajiban zakat fitrah, selain untuk memenuhi kebutuhan orang-orang miskin juga sebagai wujud rasa syukur terhadap nikmat rezeki berupa makanan itu, maka mengeluarkannya harus sesuai jenis makanan tersebut.

Pada bagian akhir, setelah memaparkan berbagai pandangan yang berbeda-beda secara kritis tersebut, Dr. Muhammad Nawawi mengambil kesimpulan dan sikap bahwa pendapat yang kami pilih adalah pendapat yang membolehkan membayar zakat fitrah dengan nilai uang. Alasannya dengan uang sangat memudahkan sesuai keperluan dan tuntutan kontenporer saat ini, terutama masyarakat yang tinggal di wilayah dimana transaksi keperluan hidupnya hampir semuanya dengan nilai uang, termasuk sangat bermanfaat bagi masyarakat miskin.

Semoga Bermanfaat.   

Wajidi Sayadi

Pontianak, 27 Ramadhan 1441 H/20 Mei 2020

Posted in: Hadist dan Ilmu Hadist

Leave a Comment