Memahami Sunnah dan Hadist

Beberapa hari lalu sudah dibahas mengenai hadis dan cakupannya yang sangat luas karena meliputi seluruh perjalanan hidup Nabi SAW. sejak lahir hingga wafatnya.
Lalu bagaimana dengan sunnah?

Para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan pengertian sunnah, disebakan oleh perbedaan fokus dan tujuan ilmu yang menjadi objek pembahasannya. Para ulama hadis mendefenisikan sunnah sama dengan pengertian hadis. Pengertian hadis dan sunnah sama saja. Begitu menyebut istilah hadis itu juga yang dimaksud sunnah. Para ulama hadis lebih fokus pada rantai periwayatan hadis yang dinisbahkan kepada Nabi SAW. sebagai contoh teladan yang terbaik sehingga apa pun yang terkait dengan Beliau, ada hubungan hukum syariat atau tidak sama saja.

Menurut ulama hukum, khususnya ulama ushul fiqh, pengertian hadis dan sunnah berbeda. Ulama ushul fikh merumuskan pengertian Sunnah adalah:
كُلُّ مَا صَدَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرَ الْقُرْآنِ مِنْ قَوْلٍ اَوْ فِعْلٍ اَوْ تَقْرِيْرٍ مِمَّا يَصْلُحُ أَنْ يَّكُوْنَ دَلِيْلاً لِحُكْمٍ شَرْعِيٍّ
Semua yang bersumber dari Nabi SAW. selain al-Qur’an, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, dan taqrir, yang dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum syariat.

Pengertian ini berbeda dengan pemahaman sunnah yang selama ini berkembang di masyarakat, bahwa semua yang pernah dilakukan nabi SAW. adalah sunnah. Pemahaman seperti ini didasarkan pada arti sunnah menurut bahasa, yakni jalan, maksudnya apa saja yang pernah dijalani Nabi SAW. itulah sunnah. Pengertian ini bukan menurut istilah syar’i. Atau bisa juga, karena pemahamannya mengikuti ulama hadis, bahwa sunnah sama saja dengan hadis.

Defenisi sunnah menurut istilah ini membatasi hanya pada ucapan, perbuatan, dan taqrir yang dapat dijadikan dalil dalam menetapkan masalah hukum syariat, karena yang menjadi pokok pembahasan adalah Nabi SAW. sebagai sumber dalil-dalil hukum syara’. Atas dasar pengertian inilah, biasanya disebut bahwa sumber hukum Islam adalah al-Qur’an dan sunnah. Sunnah yang dimaksud adalah dalam pengertian seperti ini. Bukan sunnah dalam pengertian menurut bahasa dalam kehidupan sehari-hari.

Berbeda lagi menurut ulama dakwah. Menurut mereka pengertian sunnah adalah:
ما قابل البدعة
Apa yang berlawanan dengan bid’ah.

Seseorang dianggap beramal sesuai sunnah, apabila amalannya sesuai dengan amalan praktek Nabi SAW., sebaliknya, seseorang dianggap berbuat bid’ah, apabila melakukan amalan yang dianggap berlawanan atau bertentangan dengan amalan praktek Nabi SAW. Ulama dakwah ini fokusnya lebih kepada penyampaian hukum-hukum yang diperintahkan atau pun yang dilarang dalam agama.

Sunnah dalam pandangan ulama ushul fiqh ini tidak memasukkan sifat diri, pribadi dan bentuk fisik, sebab sunnah lebih kepada yang dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum syariat. Hukum syariat dapat ditetapkan berdasarkan sabda, perbuatan atau taqrir Nabi SAW. Dengan demikian, dilihat dari segi ini, maka pengertian hadis lebih luas dan umum, sebab meliputi semua biografi perjalanan hidupnya yang ada pada diri pribadinya termasuk pakaian, kancing dan ikatannya, sandal, sepatu, bahkan bentuk fisik, seperti bulu, rambut, jenggot, uban, kuku dan kulitnya, semuanya adalah hadis. Sedangkan sunnah terbatas pada sabda, perbuatan, dan taqrir yang dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum syariat. Hadis belum tentu sunnah. Tapi, kalau sunnah sudah pasti hadis.

Dalam konteks inilah kata sunnah yang disampaikan Nabi SAW. ketika haji Wada’, Nabi SAW. bersabda:
إِنِّيْ قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنْ اِعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوْا أَبَدًا كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ نَبِيِّهِ
Sesungguhnya saya telah tinggalkan kepada kalian, jika berpegang teguh pada keduanya niscaya tidak akan sesat selamanya, yaitu Kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunnah Nabi. (HR. Hakim dari Ibnu Abbas).

Misalnya, Nabi SAW. berbaring telentang dalam masjid.
عَنْ عبد الله بن زيد أَنَّهُ رَأَى رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مُسْتَلْقِيًا فِى الْمَسْجِدِ وَاضِعًا إِحْدَى رِجْلَيْهِ عَلَى الأُخْرَى
Diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid, bahwa ia melihat Rasulullah SAW. berbaring telentang dalam masjid sambil meletakkan kaki yang satu di atas kaki yang lain. (HR. Bukhari)

Perbuatan nabi SAW. berbaring telentang dalam masjid adalah termasuk hadis, tapi bukan perbuatan sunnah, sebab tidak menjadi dalil ketetapan hukum bahwa setiap umat Islam masuk ke masjid harus berbaring telentang.
Perbuatan ini tidak mengandung konsekuensi hukum syariat. Hanya bersifat kebolehan secara rasional (الإباحة العقلية/al-ibahah al-‘aqliyah). Boleh jadi, Beliau lakukan karena kondisi fisik lelah dan capek. Pertimbangannya karena tabiat dan naluri kemanusiaan. Yang menjadi sunnah di sini adalah istirahat ketika sedang capek atau lelah, bukan harus berbaring dan telentang sebagaimana prakteknya Nabi SAW.
Alasannya, karena sudah menjadi dalil ketetapan hukum bahwa menjaga kesehatan diri dengan istirahat adalah suatu keharusan. Nabi SAW. pernah menegur Abdullah bin Amr, Shalatlah, tapi ketika tiba waktu tidur, tidurlah. Berpuasalah, tapi ketika tiba waktu buka, maka berbukalah,
فَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
Sebab sesungguhnya matamu punya hak yang harus dipenuhi, tubuhmu punya hak yang harus dipenuhi. (HR. Nasai dari Abu Salamah).

Istirahat itulah yang merupakan sunnah, dengan menyeseuaikan pada kondisi dan konteksnya, walau pun bukan dengan cara berbaring telentang.

Berbeda halnya, ketika masuk masjid, lalu shalat sunat tahiyyat masjid dua rakaat. Ini adalah perbuatan sunnah, karena menjadi dalil ketentuan hukum, bahwa apabila masuk masjid disunnahkan shalat sunat tahiyat masjid. Rasulullah SAW. bersabda:
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّىَ رَكْعَتَيْنِ
Apabila salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah duduk hingga shalat dua rakaat. (HR. Bukhari dari Abu Qatadah).

Sama-sama perbuatan Nabi SAW., tapi statusnya berbeda. Satu perbuatan hadis dan satunya perbuatan sunnah.

Begitu juga, ketika Nabi SAW. berangkat dari Madinah menuju Mekah untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah. Selama dalam perjalanan dari Madinah ke Mekah dengan jarak tempuh sekitar 480 Km., Nabi SAW. singgah istirahat beberapa kali di beberapa tempat.

Apakah bagi umat Islam yang berangkat dari Madinah ke Mekah melaksanakan haji dan umrah juga harus singgah istirahat beberapa kali di tempat yang sama persis yang pernah ditempati Nabi SAW.?

Jawabannya, tidak harus, sebab perbuatan Nabi SAW. singgah istirahat sebagai kebolehan secara rasionalitas (al-ibahah al-‘aqliyah), bukanlah perbuatan sunnah yang menjadi dalil ketetapan hukum syariat, melainkan perbuatan itu karena tuntutan naluri kemanusiaan bisa jadi karena lelah dan capek perlu istirahat. Istirahat inilah yang merupakan sunnah, sebab istirahat sebagai bagian dari upaya menjaga kesehatan, walau pun singgahnya di tempat yang berbeda.

Berbeda ketika Nabi SAW. singgah di Bir Ali untuk niat Ihram, di Arafah untuk wukuf, di Mina untuk melontar jumrah. Semua ini adalah perbuatan sunnah, karena merupakan dalil ketetapan hukum syariat.

Begitu juga, ketika Nabi SAW. menggaruk-garuk kepalanya atau bagian tubuh lainnya. Apakah kita juga harus menggaruk-garuk kepala dan bagian tubuh yang sama pada waktu yang sama?
Tidak mesti, karena perbuatan itu didorong oleh adanya rasa gatal-gatal pada kulit. Kalau lagi sedang gatal, digaruklah. Tapi kalau tidak ada rasa gatal. Apanya yang harus digaruk?
Persoalannya, bukan pada menggaruk-garuknya, tapi pada upaya menyikapi dan mengobati ketika ada penyakit kulit. Mengobati penyakit itulah sunnah.

Inilah sekedar gambaran singkat bahwa sunnah dan hadis, ada persamaan dan banyak juga perbedaannya.

Wallahu A’lam.
Semoga Bermanfaat

Pontianak, 6 Maret 2020.

Posted in: Hadist dan Ilmu Hadist, Kajian Islam

Leave a Comment