Dibaca 356
Islam adalah agama yang mudah dan memudahkan. Kemudahannya ialah tidak memaksakan kepada umatnya untuk menjalankan suatu ajaran yang tidak mampu dilaksanakannya. Di antara yang diberi keringanan boleh tidak puasa ialah orang sakit dan orang musafir. Namun keduanya wajib menggantinya pada hari-hari lainnya. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an.
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS. Al-Baqarah: 184).
Orang yang sedang mengadakan perjalanan disebut musafir. Apakah semua orang yang mengadakan perjalanan boleh tidak puasa? Perjalanan seperti apa? Perjalanan yang dimaksud adalah perjalanan jauh yang membolehkan meng-qashar shalat dan men-jamak shalat. Meng-qashar shalat maksudnya meringkas shalat, yang harusnya empat rakaat dijadikan dua rakaat sebagai keringanan. Men-jamak shalat, maksudnya menggabung dua shalat dalam satu waktu.
Adapun orang yang selamanya berada dalam perjalanan seperti sopir dan pelaut yang kerjanya selamanya dalam perjalanan. Mereka ini tidak dibolehkan buka, kecuali kalau ia puasa menimbulkan kesulitan, maka ia boleh tidak berpuasa, demikian keterangan imam Syafi’i. Mengenai berapa jarak perjalanan itu, para ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama berpendapat perjalanan yang ditempuh dalam sehari semalam. Hal ini didasarkan pada hadis, Nabi SAW. bersabda:
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ يَوْمٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Tidak boleh seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir mengadakan perjalanan sejauh sehari semalam kecuali disertai oleh mahramnya. (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Perjalanan jauh sehari semalam biasanya berjarak sekitar 16 farsakh atau 88. 565 m (kurang lebih 89 km). Ulama lainnya berpendapat sejauh minimal 3 mil yaitu sekitar 5. 541 meter (kurang lebih 6 Km). Sahabat dan pelayan Nabi SAW. bernama Anas ibn Malik pernah ditanya mengenai jarak yang membolehkan qashar shalat. Ia menjawab bahwa Rasulullah SAW. pernah ketika mengadakan perjalanan sejauh tiga mil shalat dua rakaat. (HR. Muslim).
Ada yang memahami hadis yang kedua tersebut mengenai jarak sekitar 6 Km sudah boleh meng-qashar shalat, maksudnya memulai shalat qashar setelah menempuh perjalanan sekitar 6 Km sudah melewati batas wilayah kampung, sebab shalat qashar belum dibolehkan ketika masih berada dalam wilayah kampung sendiri.
Sekarang perjalanan dengan transportasi yang cenderung menyennangkan, misalnya via pesawat, kereta api, dan mobil tidak seperti zaman Nabi SAW. dahulu pakai unta dan kuda di padang pasir luar biasa kesulitannya, mana yang lebih utama berpuasa atau berbuka?
Hamzah al-Aslami pernah bertanya kepada Rasulullah SAW.
يَا رَسُولَ اللهِ أَجِدُ بِي قُوَّةً عَلَى الصِّيَامِ في السَّفَرِ فَهَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هِيَ رُخْصَةٌ مِنْ اللهِ فَمَنْ أَخَذَ بِهَا فَحَسَنٌ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَصُومَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ
Wahai Rasulullah, aku merasa kuat berpuasa dalam perjalanan. Salahkah aku, kalau aku melaksanakannya? Rasulullah SAW. menjawab: “Itu adalah keringanan dari Allah. Barangsiapa yang menerimanya adalah baik dan barangsiapa yang senang berpuasa, maka tidak ada salahnya. (HR. Muslim).
Menurut Abu Hanifah, Malik, dan Syafi`i, berpuasa jauh lebih utama bagi yang kuat melakukannya. Sedang berbuka lebih utama bagi orang yang tidak kuat berpuasa. Menurut Ahmad ibn Hambal berbuka adalah lebih utama. Kata Umar ibn Abdul Aziz: yang lebih utama adalah yang lebih mudah. Orang lebih mudah baginya berpuasa ketika itu dan sulit mengganti puasanya di kemudian hari, maka ia lebih utama berpuasa.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab.