Dibaca 366
Sya’ban bulan mulia dan kebiasaan Nabi SAW. pada bulan Sya’ban adalah berpuasa sunnat. Hanya saja terdapat beberapa hadis mengenai puasa sunnat ini dianggap bertentangan antara satu hadis dengan hadis lainnya. Rasulullah SAW. bersabda:
إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فلَا تَصُومُوا
”Apabila sampai pertengahan bulan Sya’ban, maka janganlah berpuasa. (HR. Abu Daud dari Abu Hurairah).
Dalam hadis lainnya, Rasulullah SAW. juga bersabda:
لَا صَوْمَ بَعْدَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ حَتَّى يَجِيءَ شَهْرُ رَمَضَانَ
”Tidak ada puasa sesudah pertengahan bulan Sya’ban hingga masuk bulan Ramadhan. (HR. Ibnu Hibban dari Abu Hurairah).
Kedua Hadis tersebut tampak bertentangan atau kontradiksi dengan hadis berikut ini, di mana Nabi SAW. berpuasa setelah pertengahan bulan Sya’ban, bahkan hingga sebulan penuh, sebagaimana diriwayatkan dari Ummu Salamah istri Nabi SAW. yang menyatakan:
لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلَّم يَصُومُ مِنْ السَّنَةِ شَهْرًا تَامًّا إِلَّا شَعْبَانَ يَصِلُهُ بِرَمَضَان
Rasulullah SAW. tidak pernah berpuasa sunnah sebulan penuh kecuali bulan Sya’ban, hingga bersambung dengan Ramadhan. (HR. Abu Daud).
Kedua hadis tersebut di atas yang dianggap saling bertentangan dalam ilmu hadis disebut Mukhtalaf al-Hadits atau Musykil al-Hadits. Dalam kajian ushul fikih dikenal sebagai at-ta’ârudh atau al-mu’âradhah, saling bertentangan antara satu hadis dengan hadis lainnya.
Lalu bagaimana cara memahaminya? Apakah kita berkesimpulan bahwa Nabi SAW. tidak konsisten, antara ucapannya dengan perbuatannya. Dalam ucapannya, Beliau melarang, tapi justru Beliau mempraktekkan sebaliknya.
Nabi SAW. pasti sangat konsisten, maka di sinilah perlunya ilmu Mukhtalaf al-Hadits agar tidak salah paham terhadap hadis-hadis Nabi SAW. Hadis mukhtalaf, saling bertentangan seperti ini, ada ilmunya, cara memahaminya berdasarkan kaedah dan metodologi yang sudah dirumuskan oleh para ulama hadis.
Hadis-hadis kontradiksi yang tampak saling bertentangan dapat dipahami dengan beberapa metode, yakni Manhaj al-Jam’i wa at-taufiq (metode kompromi), Manhaj at-Tanawwu’ (mengakui dan menerima eksistensi keragaman), Manhaj at-Tarjih (metode pengunggulan salah satunya), Manhaj an-Naskh (metode penghapusan salah satunya), atau Manhaj at-Tawaqquf (menangguhkan).
Berkaitan dengan hadis puasa sunnat Sya’ban di atas, cara memahaminya dengan manhaj al-jam’i wa at-taufiq, metode kompromi. Metode kompromi ini biasanya menggunakan beberapa pendekatan, antara lain pendekatan ilmu ushul fiqh, pendekatan kontekstual, dan pendekatan takwil. Mengenai hadis-hadis puasa sunnat bulan Sya’ban tersebut di atas dipahami dengan pendekatan ilmu ushul fiqh dengan kaedah umum dan kaedah khusus. Kedua hadis yang tampak bertentangan di atas bisa dikompromikan bahwa Nabi SAW. melarang berpuasa setelah pertengahan bulan Sya’ban berlaku umum, bagi mereka yang dikhawatirkan apabila berpuasa sunnat terus melewati pertengahan bahkan sebulan penuh, akan terkuras tenaga dan kesehatannya hanya untuk puasa sunnah, sehingga pada bulan Ramadhan kesehatannya menjadi terganggu sehingga tidak sempat melaksanakan puasa wajib Ramadhan. Jangan sampai hanya karena memburu puasa sunnat, lalu puasa wajib terganggu dan bisa terabaikan.
Adapun hadis kedua, Nabi SAW. membolehkan khusus bagi mereka yang sudah terbiasa puasa sunnat, seperti puasa Nabi Daud, puasa senin dan kamis, dan tidak ada rasa khawatir gangguan kesehatannya.
Pemahaman seperti ini juga terhadap hadis Nabi SAW yang melarang menulis hadis:
لاَ تَكْتُبُوا عَنِّي وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ
“Janganlah kamu menulis sesuatu (hadis) yang berasal dariku, dan barangsiapa yang sudah menulis sesuatu yang berasal dariku, maka hendaklah ia menghapusnya.” (HR. Muslim).
Sedangkan dalam hadis lainnya, Beliau memerintahkan menulis hadis:
Abdullah bin ‘Amr bin Ash mengatakan, Nabi SAW. bersabda kepadaku:
اكْتُبْ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلاَّ حَقٌّ
Tulislah (hadis)! Demi yang jiwaku berada dalam genggaman kekuasaan-Nya, tidaklah ada sesuatu yang keluar dari mulutku kecuali kebenaran. (HR. Abu Daud).
Hadis yang melarang menulis hadis bersifat umum terutama bagi mereka yang tidak bisa membedakan antara ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan hadis yang memerintahkan menulis hadis adalah bersifat khusus bagi mereka yang dianggap cakap dan mampu membedakan mana ayat-ayat al-Qur’an dan mana hadis-hadis Nabi SAW.
Dengan metode pemahaman seperti ini, maka kedua hadis tersebut di atas hakekatnya tidak bertentangan, tapi justru memperlihatkan bagaimana bijaknya Rasulullah SAW. dalam menyikapi kemampuan umatnya yang sangat beragam.
والله أعلم بالصواب
Oleh: Dr. Wajidi Sayadi