Bidah dalam Ilmu Hadist

Sebagaimana biasanya hari Ahad Kuliah Studi Hadis bagi Mahasiswa Pascasarjana IAIN Pontianak,  kali ini materi pembahasan adalah Takhrij al-Hadits dan al-Jarh wa at-Ta’dil. 

Takhrij al-Hadts adalah langkah awal yang dilakukan ketika ingin menelusuri dan meneliti suatu hadis. Setelah itu, langkah adalah I’tibar al-Hadits dan al-Jarh wa at-Ta’dil untuk mengetahui apakah hadis itu diterima atau ditolak. 

Takhrij al-Hadis adalah penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadis yang bersangkutan yang di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad hadis yang bersangkutan. Takhrij al-Hadits ini penting, sebab dengan cara ini kita bisa mengetahui asal usul riwayat hadis dan seluruh rangkaian riwayat lainnya serta dapat mengetahui ada atau tidaknya syahid atau mutabi’ (pendukung atau penguat) pada sanad hadis yang akan diteliti.  

Setelah melakukan Takhrij al-Hadis, seluruh sanad hadis dicatat dan dihimpun untuk kemudian dilakukan I’tibar al-Hadits. Yang dimaksud I’tibar al-Hadits adalah menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu sehingga dapat diketahui apakah ada periwayat lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadis yang diteliti. 

Adapun al-Jarh adalah penilaian cacat atau negatif terhadap orang yang meriwayatkan hadis bahwa ia memiliki sifat buruk baik pada moral maupun intelektualitas hapalannya sehingga dengan sifat itu hadis yang diriwayatkannya bisa ditolak. 

Sedangkan at-Ta’dil adalah sebaliknya, yakni penilaian baik dan positif terhadap periwayat hadis bahwa yang bersangkutan adalah adil dan dhabith. Adil maksudnya muslim, dewasa, sehat pikirannya, bertakwa, dan memelihara muru’ah. Selain itu juga harus dhabith artinya kuat hapalan, maksudnya sikap penuh kesadaran dan tidak lalai, kuat hapalan jika hadis yang diriwayatkan berdasarkan hapalan, dan benar tulisannya jika hadis yang diriwayatkannya berdasarkan tulisan, dan jika ia meriwayatkan hadis secara makna, maka ia tahu persis kata-kata apa yang sesuai digunakan.  Dengan memiliki sifat-sifat ini, maka hadisnya diterima. 

Suatu Hadis dapat diketahui kualitasnya apakah sahih atau daif setelah melalui ilmu al-jarh wa at-Ta’dil ini. Inilah jasa-jasa dan prestasi para ulama hadis yang diwariskan kepada umat islam hingga saat ini, sehingga kita bisa mengetahui mana hadis sahih, hadis daif, dan hadis palsu. 

Di antara penilaian al-Jarh atau negatif dan cacat bagi orang yang meriwayatkan hadis ialah melakukan perbuatan fasik dan bid’ah. 

Istilah bid’ah umumnya dikenal dalam Ilmu fiqh dan ushul fiqh. Pengertian bid’ah yang selama ini banyak dibicarakan dan didiskusikan terutama yang terkait dengan amalan-amalan yang dicurigai tidak ada dasar hukumnya, dan lain-lain adalah pengertian bid’ah dalam ilmu fiqh dan ushul fiqh. 

Lalu bagaimana pengertian Bid’ah menurut Ilmu Hadis? 

Bid’ah dalam ilmu hadis terkait dengan fasik dan keyakinan bid’ah itu sendiri. Semuanya merupakan bagian dari sifat al-Jarh, sifat buruk dan cacat sehingga hadis yang diriwayatkannya tidak dapat dijadikan hujjah dan atau ditolak. 

al-Fisq, maksudnya berbuat atau berkata fasik. Al-Fisq, artinya keluar dari jalan yang benar. Maksudnya, fasik adalah orang muslim yang melakukan dosa besar dan sering melakukan dosa kecil. A`zhamî membagi fasik itu kepada dua macam: (1) Fasik maksiat, Fasik maksiat adalah fasik yang disebabkan oleh pelakunya melakukan dosa besar dan sering melakukan dosa kecil. Para ulama hadis menegaskan bahwa kualitas pribadi (keadilan) periwayat akan rusak atau tercela (al-jarh) karena perbuatan maksiatnya sehingga kesaksian dan riwayatnya ditolak. dan (2) Fasik bid’ah atau fasik takwil adalah muslim yang mengaku bertuhan kepada Allah dan Muhammad sebagai Rasul-Nya, tetapi menganut aqidah yang berbeda dengan aqidah Ahl as-Sunnah wa al-Jama`ah. Dalam kelompok ini termasuk Syi’ah, Mu’tazilah. Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, dan sebagainya.

Al-Bid`ah, maksudnya berbuat bid`ah. Dalam ilmu hadis, Bid`ah itu kalau dikaitkan dengan seorang periwayat hadis dapat diklasifikasikan kepada dua macam:
1. Bid’ah Shugrâ, yaitu kelompok yang tidak ekstrim. Kelompok ini termasuk seperti Syi’ah, Khawarij, dan sebagainya banyak dianut oleh kalangan tabi’in dan tabi’in-tabi’in di samping mereka juga para  tokoh yang taat beragama, wara’, dan shidq (jujur). Termasuk juga dalam kelompok ini adalah Qadariyah yang tidak ekstrim dan secara lahiriah tidak bertentangan dengan dasar-dasar sunnah, tetapi hanya saja berbeda tentang interpretasi kandungan al-Qur’an dan hadis, tidak berdusta terhadap Rasulullah SAW. dan dikenal sebagai orang yang terpelihara muru’ah-nya dan mereka juga tidak mengajak orang lain untuk mengikuti madzhabnya. Kelompok ini dapat diterima riwayatnya. Hal ini senada dengan pandangan A`zhamî.  

2. Bid’ah Kubrâ, yaitu golongan Syi’ah yang ekstrim seperti golongan yang menghina Abu Bakar dan Umar, menganggap keliru wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad SAW. yang menurut mereka semestinya kepada Ali ibn Abi Thalib, menganggap bahwa Ali ibn Abi Thalib adalah anak Tuhan dan melakukan dusta terhadap Rasulullah untuk kepentingan madzhabnya. Hadis-hadis yang disampaikan dari golongan ini tidak dapat diterima. 

Selain fasik dan bid’ah tersebut, juga termasuk al-Jarh meliputi al-kadzib (berdusta), at-tuhmah (tertuduh dusta), al-Jahâlah, maksudnya tidak diketahui identitas dan pribadinya. Fuhsy al-ghalath, maksudnya riwayatnya lebih banyak yang keliru daripada yang benar. Sû’ al-hifzh, maksudnya hafalannya buruk sehingga riwayatnya banyak yang salah, namun ada juga yang benar. Al-Ghaflah, maksudnya sifat lupanya lebih dominan daripada hafalnya. Katsrah al-auhâm, maksudnya riwayatnya lebih banyak diduga mengandung kekeliruan. Mukhâlafah ats-tsiqât, riwayatnya menyalahi riwayat orang-orang yang tsiqah. 

Semoga bermanfaat. 
Wallahu A’lam bi ash-Shawab. 

Pontianak, 23 Desember 2018.

Posted in: Hadist dan Ilmu Hadist, Kajian Islam

Leave a Comment