Namaku Gempa

 

 

Namaku Gempa (Lino dalam bahasa daerah) karena aku dilahirkan pada hari Jumat 25 Dzulhijjah 1387 H, lima hari kemudian tepatnya hari Selasa 1 Muharram 1388 H bertepatan 11 April 1967 M terjadi gempa bumi yang dahsyat 6.0 SR di Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah hingga Philipina yang menewaskan 58 orang dan memporak-porandakan bangunan rumah, sekolah, toko, dan masjid, termasuk masjid Raya Campalagian yang ada di samping rumahku.

Aku baru lima hari menghirup udara dunia, dikagetkan dengan gempa bumi menyebabkan rumahku, rumah panggung yang terbuat dari kayu terangkat dan terlempar hingga lebih dari lima meter. Keluarga umumnya menduga bahwa bayi yang baru berusia 5 hari dengan kondisi rumah terlempar itu pasti meninggal dunia. Subhanallahu wa Alhamdulillah wa Lailaha Illallahu wa Allahu Akbar. Bayi itu selamat hingga saat ini masih sempat menulis di facebook.

Dengan kejadian gempa bumi ini yang menjemput kelahiranku, maka orang tua memberiku nama Gempa (Lino atau Linor).
Beberapa keluarga dekat dan nenek yang sudah tua masih sering memanggilkuku dengan nama Gempa padahal aku sudah sekolah di Madrasah Ibtidaiyah.

Ketika masih bayi berumur sekitar 1-2 tahunan, orang tua menulis beberapa nama dalam kertas yang digulung lalu saya merayap dan merangkak seperti disuruh memilih satu di antara gulungan kertas.

Akhirnya saya mengambil gulungan kertas yang di dalamnya tertulis nama Muhammad Saleh. Maka diberilah nama saya Muhammad Saleh nama kakek ayah dari M. Sayadi ayahku al-Marhum yang wafat 21 Agustus 1967. Nama ini sebagai doa dan harapan agar menjadi anak saleh.

Sekitar satu tahun kemudian yakni 1970, datanglah kakek saya paman ayahku dari Mesir yang sedang belajar di sana bernama DR. Muhammad Nawawi Yahya, MA. ketemu dengan ayahku dan meminta nama saya diganti dan diberilah nama Muhammad Wajdi.

Ketika penulisan ijazah Madrasah Ibtidaiyah oleh Kepala Madrasah tanpa banyak tanya langsung menulis di Ijazah dengan nama Wajidi Sayadi, itulah yang jadi dan tertulis dalam semua ijazah dan semua dokumen.

Ketika mendengar kabar dari media sosial online bahwa telah terjadi gempa bumi di Sulawesi Tengah yang berpusat di Palu dan Donggala termasuk Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, khususnya di daerah dimana aku dilahirkan, pikiran dan ingatan saya menerawang jauh ke masa lalu yang sudah lewat setengah abad 50 tahun lalu, di mana aku terlempar oleh hempasan gempa bumi dahsyat ketika usiaku baru lima hari.

Saya terlambat mendapat informasi tentang gempa bumi di Sulawesi Tengah pada bulan Muharram ini karena pada saat kejadiannya saya lagi dalam perjalanan dari Kota Pontianak menuju Kota Singkawang memenuhi undangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Singkawang untuk menjadi Narasumber dalam Seminar tentang Perbankan Syariah Solusi Pemberdayaan dan Pengembangan Ekonomi Daerah.

Sesampai di Kota Singkawang sudah malam langsung menghubungi keluarga di kampung. Keluarga menceritakan bahwa gempa bumi yang terjadi dan pusatnya di Palu dan Donggala, tapi terasa sampai Sulawesi Barat dan Selatan termasuk di kampung di mana aku dilahirkan.

Ketika sedang adzan dan di tempat tempat lain menjelang adzan langsung terasa goyang, yang mengumandangkan adzan, Jamaah yang berada di masjid, dan yang sedang berwudhu pada lari berhamburan keluar dari masjid, karena terasa goyang, ada yang langsung duduk, tiarap dan berbagai gaya dan cara untuk penyelamatan diri masing-masing. Termasuk mereka yang berada dalam rumah pada berhamburan keluar dengan suasana panik.

Demikian juga para santri yang berjumlah ratusan beserta para ustadz dan ustadzah panik berhamburan keluar menuju ke lapangan dengan kalimat Takbir Allahu Akbar Takbir yang serius Takbir yang sesungguhnya bersumber dari hati nurani yang terasa takut dan butuh pertolongan Allah Yang Maha Besar, bukan Takbir yang gagah-gagahan dengan emosional yang bersumber dari pikiran dan nafsu.

Mendengar cerita dari keluarga yang membuat terkadang ada tawa karena ekspresi kepanikan bervariasi tapi di hati sesungguhnya saya sedih dan terharu sekaligus mengingatkan masa gempa yang terjadi 50 tahun lalu menyebabkan saya diberi nama gempa.

Kepada Allah Yang Maha Besar dan Maha Bijaksana kita selalu berdoa dan berharap kepada-Nya semoga kita selalu dilindungi dan dijauhkan dari musibah seperti itu.

Semoga saudara-saudara kita yang ditakdirkan mendapat musibah diberi ketabahan dan keikhlasan menerima semua ketentuan ini dan mendapat balasan dan pengganti yang lebih baik.

Semoga Yang sakit segera sembuh dan sehat kembali. Bagi yang meninggal dunia semoga tercatat di sisi Allah sebagai mata Syahid, diampuni semua kesalahan dan dosanya diberi balasan terbaik dan surga oleh Allah.

Singkawang, 29 September 2018 M
19 Muharram 1440 H

Posted in: Uncategorized

Leave a Comment