PERAN KH. MUHAMMADIYAH DALAM KADERISASI ULAMA MELALUI MADRASAH ARABIYAH ISLAMIYAH DI CAMPALAGIAN (Bagian ke 2)

Oleh: Wajidi Sayadi

Keterangan Foto

2. Foto bersama di teras Masjid Raya Campalagian tempo doeloe. Belakang dari kiri ke kanan no. 1. Puang Qadhi Bungi (dari Kabupaten Pinrang Sul-Sel). 2. Tt. 3. KH. Kattolong, 4. 5. 6. Tt. 7. Haji Aco Kepala Bonde Matoa kakek Penulis. 8. Tt. 9. KH. Muhammadiyah.

Depan: 1. KH. Kubo, 2. KH. Muhammad Zein. 3. KH. Yamin (ayahnya H. Mahmud Yamin Abba Kaco). 4. KH. Nawawi Abbana Nahrawi. 5. Tidak tahu.

Masa KH. Muhammadiyah adalah masa pertumbuhan sekaligus memasuki masa kemajuan yang sangat pesat pengajian dan Pengkajian kitab kuning (mangngaji kitta’ dalam bahasa daerah).
Pada masa ini Campalagian khususnya di Kampung Masigi Bonde telah datang seorang ulama murid Syekh Abdul Karim Pontianak berasal dari Belokka Sidrap, namanya KH. Maddappungen. Pada tahun 1910 Beliau menikah dengan puteri KH. Abd Hamid Dahlan, Syekh Said Alwi bin Sahl bin Jamalullail dari Yaman wafat dan dimakamkan di Campalagian pada tahun 1934, Syekh Said al-Yamany beserta keluarganya Syekh Hasan al-Yamany, keduanya adalah mufti Syafi’i di Mekkah al-Mukarramah dan Syekh Umar al-Yamany dari Arab Saudi sekitar tahun 1923-1937.

KH. Muhammadiyah belajar langsung kepada para ulama yang disebutkan di atas, selain kepada KH. Abd Hamid Dahlan. Dalam catatan riwayat hudupnya disebutkan bahwa Beliau pernah juga belajar di Pulau Salemo Pangkep, pernah juga di Bone dan tempat lainnya, hanya tidak disebutkan nama-nama gurunya di sana. Pendidikannya lebih fokus pada pendidikan agama khususnya pengajian dengan belajar kepada para ulama. Beliau tidak melalui proses pendidikan formal dengan sistem dan materi umum sebagaimana pada umumnya di zaman Belanda.

Adapun para santri yang belajar kepada KH. Muhammadiyah selain santri lokal juga banyak berasal dari luar daerah Polman dan luar Sulawesi antara lain KH. Hasan, H. Mahmud Yamin, KH. Mahmud, Kyai Ahmad Zein, KH. Ahmad Syamsuddin, Hj. Hadharah, al-Ust. Abd Latif Abbana Yamang, puteranya yang telah disebutkan di atas, KH. Abd Halim dari Masalembo Jawa Timur gurunya KH. Abd Latif Busyra Pendiri dan Pimpinan Pondok Pesantren As-Salafiy Parappe, dan masih banyak lagi lainnya alumni Madrasah Arabiyah Islamiyah atau Sekolah Arab. Termasuk ibu saya sendiri Juniara binti H. Aco yang lebih fasih membaca tulisan Aksara Lontara Bugis dan tulisan Arab berbahasa Indonesia.

Pada masa awal KH. Muhammadiyah ini, pengajian kitab kuning berlangsung di masjid dan di rumahnya dengan sistem sorogan atau mangngolo baca dan halaqah. Oleh karena jumlah santri semakin banyak dan ramai, baik dari daerah lokal maupun dari luar, maka KH. Abd Hamid Dahlan pada saat itu sebagai Qadhi Masjid Raya Campalagian, berinisiatif mendirikan lembaga pendidikan secara formal yaitu didirikanlah Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) pada tahun 1930. Walaupun sudah berdiri Madrasah, tetapi prosesi pembelajaran dan pengajiannya tetap berlangsung di rumah.

Pada tahun 1936 mulailah ada bangunan fisik secara resmi khusus Madrasah Arabiyah Islamiyah didirikan di atas tanah yang diwakafkan oleh KH. Abd Hamid Dahlan yang terletak di Jl. Ammana Ma’jju Desa Bonde Campalagian. Di atas tanah Wakaf inilah saat ini berdiri bangunan bagus berantai dua, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah di bawah naungan Yayasan Perguruan Islam.
Pendiriannya oleh KH. Abd Hamid, namun dalam hal pengelolaan dan pembinaannya banyak dinakhodai dan dipimpin oleh KH. Muhammadiyah.

Dalam proses pembelajaran dan pengajian di Madrasah ini, selain KH. Muhammadiyah juga bersama-sama para ulama setempat lainnya yang juga murid dari KH. Abd Hamid, KH. Maddappungen, Syekh Hasan al-Yamani, dan alumni Madrasah ini, antara lain KH. Abd Rahim (1967) ulama sangat tegas dan pebisnis hingga sampai ke Padang Sumatera Barat, KH. Abd Kadir Ismail (1908-) populer dengan nama Abba Dere, imam di beberapa masjid di Polewali, KH. Mahmud Ismail (1910-1986) imam Masjid Nurul Yaqin Pappang, Beliau guru diskusi dan konsultasi dengan Prof. Dr. H. Baharuddin Lopa, KH. Muhammad Zein (1910-1988) qadhi masjid raya ke XVII (1954-1983), KH. Mas’ud Rahman (1910-198) mantan ketua MUI Majene, ayahnya Prof. Dr. Darmawan Mas’ud, KH. Habib Saleh Hasan al-Mahdali (1919-1987) ulama yang hapal Al-Qur’an 30 juz dengan suara indah dan merdu, KH. Sayid Muhammad Said Hasan al-Mahdali (1920-2004) pendiri Pondok Pesantren Syekh Hasan al-Yamani, KH. Hasan dikenal sebagai imam Ujung, KH. Abdullah Maddappungen, KH. Najamuddin Tahir Putera Imam Lapeo termasuk pelopor berdirinya Pesantren Calon Alim Ulama, KH. Mahdi Buraerah (1998), Hj. Hadharah populer dengan nama Wak Lala, KH. Muhammad Dahlan Hamid (1926-2012) qadhi masjid raya ke XVIII, dan lainnya.

KH. Muhammadiyah menghabiskan waktu pengabdiannya dan memainkan peran penting untuk pendidikan dan dakwah Islam sebagai bagian dari proses kaderisasi ulama, baik pengajian di rumahnya sendiri, di Madrasah dan di Masjid Raya hingga sekitar tahun 1950-an Beliau bersama muridnya bernama Yolla dibawa atau bahasa kasarnya diculik oleh pasukan tentara Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kahar Muzakkar dan dibawa ke Palopo Lawu Sulawesi Selatan, karena basis kekuatan dan markas pergerakan DI/TII adalah di Palopo Kabupaten Luwu tempat kelahiran Kahar Muzakkar 24 Maret 1921.
KH. Muhammadiyah diculik dan dibawa bergabung dengan DI/TII, boleh jadi di antara alasannya adalah untuk mengajar dan memberi pengajian khususnya masyarakat pengikut DI/TII yang bergerilya di hutan.

Tahun 1950-1965 adalah masa pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan. Kahar Muzakkar resmi bergabung dengan DI/TII pada tanggal 20 Januari 1952, setahun kemudian Ia memproklamirkan Sulawesi Selatan sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) dan Kahar Muzakkar sebagai panglima Divisi IV.

Pada masa inilah DI/TII masuk di Mandar khususnya di Campalagian. Kehadiran mereka berbarengan dengan masa kekuasaan Andi Selle Mattola (lahir di Pinrang 1925) sebagai Komandan Batalyon 710 yang bermarkas di Pinrang-Polewali antara tahun 1954-1964.

Keberadaan Batalyon 710 Andi Selle menjadi catatan kesan buruk dan trauma bagi masyarakat Campalagian oleh perlakuannya yang tidak baik, terutama dalam hal hegemoni dan monopoli perdagangan dan ekonomi lainnya selama di Campalagian.
Sedangkan kehadiran pasukan tentara DI/TII lebih mengincar pada kelompok tertentu, khususnya para tokoh agama dan ulama di Campalagian.
Peristiwa yang dialami masyarakat pada masa ini merupakan masa sulit, kacau dan penuh perjuangan hingga banyak yang mengungsi dari tempat tinggalnya mencari tempat yang lebih aman.
Satu sisi tentara 710 Andi Selle berada dalam kota yang biasa nengacau, sedangkan pasukan tentara Kahar Muzakkar gerilyawan dari hutan juga mengancam. Masyarakat diapit oleh dua kekuatan tentara yang sewaktu-waktu menjadi sumber masalah ancaman dan kekacauan. Membantu dan kerja sama dengan tentara 710 Andi Selle akan diancam oleh gerilyawan DI/TII. Sebaliknya membantu dan kerja sama dengan gerilyawan tentara DI/TII dari hutan akan diancam oleh tentara 710.
Itulah sebabnya masyarakat Campalagian, mungkin Mandar dan Sulawesi Selatan dan Barat merasa merdeka setelah tahun 1970-an karena banyaknya pergerakan senjata dan pemberontakan seperti ini. Berbeda di Pulau Jawa merasa merdeka sejak proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.

Pada masa inilah, sekitar tahun 1950-an beberapa ulama dan tokoh agama di Kampung Masigi menjadi incaran dan terget akan diculik dan dibawa oleh pasukan tentara DI/TII ke hutan markas Kahar Muzakkar.. Termasuk di antaranya KH. Habib Saleh Hasan al-Mahdali didatangi dan dikepung rumahnya oleh tentara DI/TII, tiba-tiba tentara itu tidak melihat apa-apa sama sekali, kecuali hanya laut yang terlihat di hadapan mereka. Akhirnya mereka kembali tanpa hasil.
Demikian juga yang dialami H. Aco Kepala Bonde Matoa dan Pertama kakek saya pernah diculik tentara DI/TII. Keluarga dan masyarakat yang sempat menyaksikan drama penculikan itu pada menangis. Sebelum dibawa berangkat dari rumah, Beliau minta waktu untuk shalat sunnat dan berdoa. Setelah itu Beliau dibawa menuju hutan markas DI/TII dengan pengawalan ketat tentara. Tidak sampai seharian lamanya Beliau datang kembali ke rumah dengan senyuman selamat, lolos dari penculikan.

Berbeda nasibnya dengan KH. Muhammadiyah yang bertetangga dengan KH. Habib Saleh dan H. Aco, Beliau beserta di antara muridnya diculik dan dibawa oleh tentara DI/TII ke Palopo. Beliau tinggal di sana bersama masyarakat dan pengikut Kahar Muzakkar sekitar kurang lebih 10 tahun hingga wafat di Desa Komba Kecamatan Larompong Wilayah Palopo Luwu Sulawesi Selatan sekitar tahun 1960.

Semoga warisan peninggalan dan jejak perjuangan KH. Muhammadiyah menginspirasi para santri dan generasi berikutnya untuk lahirnya kader ulama masa depan.

JAS HIJAU (Jangan Sekali-kali mengHilangkan Jasa Ulama).
SEMOGA
لله ولهم الفاتحة

Pontianak, 20 Agustus 2018

Posted in: Uncategorized

Leave a Comment