LITERASI WAKAF: MEMBACA PENGGUNAAN ISTILAH YANG BERKAITAN DENGAN WAKAF DALAM AL-QUR’AN DAN HADIS

Materi ini merupakan bagian dari apa yang telah disampaikan dalam Kegiatan Literasi Zakat dan Wakaf yang diselenggarakan oleh Penerangan Agama Islam, Zakat, dan Wakaf Kanwil Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Barat di Hotel Orchardz Pontianak, Senin, 15 Mei 2023 lalu.
Dalam kegiatan ini turut menjadi narasumber Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Republik Indonesia dari Jakarta secara online H. Tarmizi Tohor. H. Salman Busrah Direktur Utama Pontianak Post. Moderator Kepala Bidang Penerangan Agama Islam, Zakat, dan Wakaf, H. Rohadi, S.Ag., M.Si.
Secara etimologi, kata Wakaf mengandung arti الوقف بمعنى التحبيس و التسبيل Wakaf artinya menahan dan menyerahkan.
Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. (KHI, Pasal 215).
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian dari harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. (UU Wakaf, Pasal 1).
Ketetapan Wakaf didasarkan pada al-Qur’an dan Hadis
Para ulama Fiqh ketika membahas masalah wakaf, didasarkan pada al-Qur’an dengan menggunakan istilah al-Khair.
وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Dan Berbuatlah al-khair, kebaikan agar kamu beruntung. (QS. al-Hajj, 22: 77).
Dalam kitab Kifayah al-Akhyar, Syekh Taqiyuddin al-Husainiy ad-Dimasyqiy menjelaskan bahwa kata الْخَيْرَ (kebaikan atau yang terbaik) yang dimaksud dalam ayat ini adalah Wakaf.
Dalam al-Qur’an terdapat beberapa istilah yang biasa diterjemahkan baik atau kebaikan antara lain, الحسنة (al-hasanah), المعروف (al-ma’ruf), الطيّبة (al-Thayyibah), dan lainnya.
kata الْخَيْرَ ini biasanya digunakan dalam hal-hal nyata yang kebaikan dan kemanfaatannya sangat terasa dan dirasakan banyak manusia dan makhluk lainnya, misalnya dalam hadis Nabi SAW.
Ada sahabat yang bertanya kepada Nabi SAW.
أَيُّ الْإِسْلَامِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلَامَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ.
Ajaran Islam manakah yang Khair, baik dan terbaik? Beliau menjawab: “Memberi makanan-minuman dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal maupun yang belum engkau mengenalnya. (HR. Muslim dari Abdullah bin ‘Amr).
Memberi makan-minum sebagai kebutuhan pokok pasti manfaatnya sangat terasa dan diperlukan.
Memberi makan-minum dalam pengertian memberi penghidupan kepada orang lain.
Demikian juga menciptakan as-Salam, di antara pengertiannya adalah membuat suasana aman, nyaman, selamat, sejahtera, dan perdamaian.
Hal-hal seperti inilah yang termasuk dalam makna kata الْخَيْرَ dan termasuk Wakaf yang manfaatnya sangat diperlukan dan dirasakan umat.
Demikian juga pada ayat lainnya yang biasa dijadikan dasar hukum wakaf, yaitu:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتّٰى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ
Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. (QS. Ali ‘Imran: 92).
Kata تُنْفِقُوْا (infaq) yang dihubungkan البِرّ al-Birr (kebaikan) dimaksud dalam ayat ini adalah Wakaf. (Wahbah az-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, X/7603).
Hubungan Wakaf dengan kata البِرّ al-Birr
Kata البِرّ (al-Birr) artinya kebaikan, sama dengan akar kata dengan البَرّ (al-Barr) artinya daratan.
Dengan demikian, kata البِرّ (al-Birr) mengandung arti kebaikan yang luas seluas daratan.
Ketika Wakaf disebutkan dalam al-Qur’an yang diidentikkan dengan istilah Infak untuk mendapatkan al-Birr (Kebaikan yang sangat luas), menunjukkan bahwa Wakaf adalah instrument ekonomi dalam Islam yang kebaikan dan kemanfaatannya sangat luas bisa dirasakan oleh banyak manusia.
Oleh karena itu, barang wakaf itu harus bersifat kekal, abadi dan bermanfaat, memberi kemanfaatan berkelanjutan, tidak boleh diwarisi dan dijual.
Lebih jelas lagi masalah wakaf disebutkan oleh Hadis dengan istilah al-Jariyah (artinya mengalir), yakni manfaatnya mengalir terus. Rasulullah SAW. bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ.
Apabila salah seorang meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara; Sedekah yang terus-menerus mengalir, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang selalu mendoakannya. (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Sedekah jariyah yang dimaksud dalam hadis ini adalah Wakaf, sebab Wakaf yang bendanya kekal, tidak berkurang, tidak rusak, tapi manfaatnya jalan dan mengalir terus, berkelanjutan tanpa henti.
Lebih jelas dalam hadis lainnya yang diajarkan Nabi SAW. kepada Umar bin Khattab.
Abdullah bin Umar menceritakan mengenai pengalaman ayahnya, yakni Umar ibn al-Khattab memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian ia datang kepada Rasulullah SAW. minta nasehat. Wahai Rasulullah SAW., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, apakah yang Anda perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW. bersabda: “Kalau engkau suka, engkau tahan pokoknya tanah itu dan engkau sedekahkan (hasilnya).” Kemudian Umar mewakafkan tanahnya (untuk dikelola), tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: ”Umar menyedekahkan (hasil pengelolaan tanahnya) kepada orang-orang miskin, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak dilarang bagi para pengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (selayaknya) dan memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta.” (HR. Muslim dari Ibnu Umar).
Dalam hadis ini, Rasulullah SAW. menegasaskan:
إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا
Bendanya engkau tahan, abadikan, kelola dengan baik secara produktif, sehingga menghasilkan. Hasilnya itulah yang engkau sedekahkan.
Hadis inilah yang menjadi landasan hukum dan landasan operasional wakaf dalam bentuk wakaf produktif.
Wakaf harus bersifat abadi dan produktif agar manfaatnya benar-benar dirasakan dan berkembang berkelanjutan terus, jalan terus, tidak berhenti.
Dalam hadis ini sangat jelas dan tegas bahwa Wakaf tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, tidak boleh diwariskan, karena bukan harta warisan.
Dalam hadis ini sangat jelas bahwa Wakaf itu harus ada yang mengelola sebagai penanggung jawab namanya Nazhir. Sebagaimana zakat, pengelolanya disebut sebagai Amil.
sebagai bagian dari pengelolaan dan pertanggungjawaban Nazhir terhadap wakaf adalah mengurus Akta Ikrar Wakafnya sehingga tidak memunculkan potensi masalah kepastian keberadaannya sebagai wakaf.
Wallahu A’lam.
Semoga Bermanfaat
Pontianak, 20 Mei 2023
Posted in: Fiqih, Kajian Islam

Leave a Comment