Dibaca 188
Keterangan Foto: Bersama Prof. Dr. H. Umar Shihab, MA dan Prof. Dr. H. Yunus Rahim, MA pada Acara MUNAS VIII MUI di Jakarta, dan bersama peserta Munas
Sebagai rangkaian dari memperingati Hari Lahir MUI ke 46, diselenggarakan 5th Annual Conference on Fatwa Studies (المؤتمر السنوي الخامس لدراسة فتاوى مجلس العلماء الإندونيسي) tanggal 26-28 Juli 2021. Hari ini adalah terakhir presentase sekitar 50 makalah yang membahas dan menyorot fatwa MUI dalam berbagai perspektif pada acara konferensi tersebut.
Dalam konteks ini pula, kami memperkenalkan sekilas mengenai Fatwa MUI dan prosedur penetapannya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mempunyai peran yang sangat strategis dalam hal keagamaan dan keumatan-kebangsaan sebagai Ishlah al-Ummah (perbaikan), himayah al-ummah (pemeliharaan), dan taqwiyah al-ummah (memperkuat dan memberdayakan kehidupan umat) di antaranya dengan cara mengeluarkan fatwa sebagai jawaban dan penjelasan status hukum suatu masalah serta menjadi pedoman umat Islam dalan menjalankan ajaran agama.
Apa itu Fatwa ?
Fatwa adalah jawaban yang menjelaskan mengenai status hukum suatu masalah agama.
Kata Syekh Yusuf al-Qaradhawi, fatwa ialah penjelasan status hukum syar’i tentang suatu masalah sebagai jawaban dari pertanyaan orang tertentu maupun tidak tertentu, individu maupun kelompok.
Fatwa adalah produk hasil ijtihad para ulama dari setiap zaman sebagai jawaban terhadap tantangan perkembangan zaman.
Fatwa dan Ijtihad adalah kebutuhan setiap umat. Masalah yang dihadapi umat Islam sangat dinamis, semakin hari semakin banyak dan berkembang terus serta semakin kompleks, seperti masa pandemi Covid-19 ini yang sangat berpengaruh terhadap hukum-hukum keagamaan dan sosial.
Sementara al-Qur’an dan hadis sebagai sumber hukum Islam tidak pernah bertambah, upaya menjembatani dan menyelesaikan problem ini, maka di sinilah perlu adanya fatwa ijtihad para ulama.
Ijtihad tidak mungkin dilakukan oleh semua dan sembarang orang. Begitu juga tidak mungkin setiap orang berasumsi dengan pendapat masing-masing langsung pada al-Qur’an dan hadis.
Oleh karena itu, mereka yang tidak mampu berijtihad, seharusnya mengikuti pendapat para ulama yang telah dirumuskan dalam fatwa dan ijtihadnya. Inilah di antara makna dan pesan firman Allah SWT. dalam al-Qur’an:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, (QS. An-Nahl, 16: 43).
Al-Imam Mahmud Syaltut mengutip hadis Rasulullah SAW.
لا ينبغي للعالم ان يسكت على علمه
ولا ينبغي للجاهل ان يسكت على جهله
Tidak patut seorang ‘alim-ulama berdiam atas keilmuannya.
Tidak patut bagi seorang bodoh berdiam atas kebodohannya. (HR. Thabarani dari Jabir).
Mengikuti dan menjalankan Fatwa Ulama pada hakekatnya adalah mengikuti dan mengamalkan al-Qur’an dan hadis sebagaimana yang dipahami para ulama. Karena para ulama merumuskan fatwa itu semuanya berlandaskan pada al-Qur’an dan hadis dengan kaedah-kaedah istimbath hukum tertentu.
Fatwa sebagai produk ijtihad para ulama ada dua bentuknya:
1. Fatwa perorangan (fardi) adalah dilakukan perorangan terhadap persoalan tertentu yang umumnya menyangkut kepentingan perorangan, seperti fatwa al-Imam Mahmud Syaltut, fatwa Syekh Yusuf al-Qaradhawi, fatwa M. Quraish Shihab, fatwa imam besar Masjid Istiqlal Prof. KH. Mustafa Ali Yaqub, fatwa Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, dan lain-lain.
2. Fatwa kolektif (jama’i) adalah dilakukan oleh kelompok para pakar terhadap persoalan tertentu yang umumnya menyangkut kepentingan luas, seperti organisasi, lembaga, forum, atau komisi.
Fatwa MUI termasuk fatwa kolektif yang dikaji para pakar dan ahlinya dari berbagai bidang dan ditetapkan melalui Komisi Fatwa. Demikian juga, Nahdlatul Ulama melalui Bahtsul Masail, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, Dewan Hisbah Persis, Darul Ifta’ Mesir, Lajnah ad-Daimah li al-Buhuts al-’Ilmiyyah wa al-Ifta’ Saudi Arabia, dan lembaga fatwa lainnya.
Hal-hal yang difatwakan MUI adalah masalah faham keagamaan, akidah dan ibadah, sosial kemasyarakatan, ekonomi dan perbankan syariah, pangan, obat-obatan dan kosmetika, serta masalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Semua masalah ini difatwakan melalui tiga lembaga di bawah naungan MUI, yaitu:
1. Fatwa tentang masalah akidah, faham dan ibadah, sosial kemasyarakatan, kesehatan, dan lain sebagainya, ditetapkan melalui Komisi Fatwa MUI.
2. Fatwa tentang ekonomi Syariah dan perbankan syariah ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN)-MUI.
3. Fatwa tentang kehalalan produk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika ditetapkan melalui Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika (LPPOM) MUI bekerjasama dengan Komisi Fatwa MUI.
Hasil penelitian dan auditing oleh auditor, sekarang disebut sebagai Pemeriksa Halal dari LPPOM-MUI lalu dilaporkan pada Komisi Fatwa MUI. Selanjutnya Komisi fatwa MUI menetapkan kehalalannya. Secara resmi fatwa ini dikeluarkan dalam bentuk sertifikat halal.
Sejak disahkannya Undang-Undang Produk Jaminan Halal no. 33/2014, maka administrasi Sertifikat Halalnya oleh Kementerian Agama, tetapi Penetapan Status Hukum Halalnya tetap berada di bawah kewenangan MUI.
MUI sejak berdirinya tahun 1975 hingga hari ini, mungkin sudah hampir atau sudah lebih 1000 (Seribu) fatwa telah dikeluarkan. Semua Fatwa ini sebagai tugas dan wujud tanggungjawab MUI dalam mengawal, membina dan menjaga umat dan bangsa ini.
MUI mengeluarkan fatwa pada setiap kegiatan:
1. Musyawarah Nasional (Munas) MUI yang diselenggarakan setiap lima tahun, sekaligus pemilihan ketua umum MUI yang dihadiri Pengurus MUI Provinsi seluruh Indonesia.
2. Ijtima’ Komisi Fatwa MUI se-Indonesia diselenggarakan setia tiga tahun, dihadiri pengurus MUI Provinsi, Daerah, Ormasi Islam, Perguruan Tinggi dan Lembaga lainnya yang terkait.
3. Komisi Fatwa MUI dan Dewan Pengurus MUI Pusat.
Pengalaman saya lebih 10 tahun sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI Provinsi Kalimantan Barat, sekarang sebagai Wakil Ketua Umum MUI membidangi Fatwa, sering terlibat langsung dalam proses penetapan fatwa pada acara Munas dan Ijtima’ Komisi Fatwa MUI se-Indonesa, pembahasan dan penetapan fatwa selalu seru karena dihadiri para ulama, cendekiawan, dan para pakar dari berbagai keahlian. Demikian juga karena fatwa yang dikeluarkan penuh dengan berbagai pertimbangan dan kehati-hatian, tanggung jawab dunia akhirat.
Fatwa MUI ini bersifat responsif, proaktif, dan antisipatif.
Sebagai contoh selama masa pandemi Covid-19 tahun 2020-2021 ini MUI sudah banyak mengeluarkan fatwa sebagai pedoman bagi umat Islam dalam menjalankan ibadah di masa pandemi, tes swab, penggunaan vaksin, dan lainnya.
Selama masa pandemi Covid-19, MUI telah mengeluarkan fatwa antara lain: Fatwa MUI No. 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19. Fatwa MUI No. 17 Tahun 2020 tentang Pedoman Kaifiat Shalat bagi Tenaga Kesehatan yang Memakai Alat Pelindung Diri (APD) Saat Merawat dan Menangani Pasien Covid-19. Fatwa MUI No. 18 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengurusan Jenazah (Tajhiz al-Janaiz) Muslim yang Terinfeksi Covid-19. Fatwa MUI No. 23 Tahun 2020 tentang Pemanfaatan Harta Zakat, Infak, dan Shadaqah untuk Penanggulangan Wabah Covid-19 dan Dampaknya. Fatwa MUI No. 28 Tahun 2020 tentang Panduan Kaifiat Takbir dan Shalat Idul Fitri Saat Covid-19. Fatwa MUI No. 31 Tahun 2020 tentang Shalat Jumat dan Jamaah untuk Mencegah Penularan Covid-19. Fatwa MUI No. 02 Tahun 2021 tentang Produk Vaksin Covid-19 dari Sinovac Life Science. Fatwa MUI No. 13 Tahun 2021 tentang Hukum Vaksinasi Covid-19 Saat Berpuasa. Fatwa MUI No. 14 Tahun 2021 tentang Hukum Penggunaan Vaksin Covid-19 Produk Astrazeneca. Fatwa MUI No. 23 Tahun 2021 tentang Hukum Tes Swab untuk Deteksi Covid-19 Saat Berpuasa. Fatwa MUI No. 24 Tahun 2021 tentang Panduan Penyelenggaraan Ibadah di Bulan Ramadhan dan Syawal 1442 H. Fatwa MUI No. 36 Tahun 2021 tentang Shalat Idul Adha dan Penyembelihan Hewan Qurban Saat Wabah Covid-19.
Semoga MUI dalam usianya 46 tahun, semakin berperan dalam mengawal, meningkatkan perbaikan, memperkuat, dan memberdayakan umat dan bangsa. Menjaga akidah dan ibadah, memberdayakan ekonomi umat, dan memperbaiki akhlak dan moral umat dan bangsa.