Dibaca 227
POLEMI SOSO ALAWE
TAMMA’GURU TODAMI
APA’ I’DAI
MASSE’ PAPPEJAPPUNNA
Telah datang sesal diri
Tapi tak berguna lagi
Sebab ternyata tidak
Kuat pengenalannya (kepada Tuhan)
Setiap manusia mempunyai dua kebutuhan pokok, yaitu; kebutuhan untuk melangsungkan hidup dan melestarikan jenis dan kebutuhan mencapai ketenangan jiwa dan kebahagiaan hidup. Dua kebutuhan inilah yang mendorong manusia melakukan aktivitasnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan pertama bersifat fisiologis yang berkaitan dengan keseimbangan organik dan kimiawi dalam tubuh, seperti rasa haus, rasa lapar, bernapas, istirahat, tidur, menghindari suhu panas dan dingin, buang air besar atau kecil, menghindari rasa sakit pada organ tubuh, hubungan seksual, dan lain-lain.
Selain kebutuhan fisiologis seperti ini, juga perlu kebutuhan psikis dan spiritual yang sangat penting dalam mewujudkan kenyamanan dan kebahagiaan jiwa. Kebutuhan ini ada dalam setiap diri manusia, seperti kebutuhan mengenal Tuhannya (Ma`rifatullah). Kalau kebutuhan pokok ini berupa pengenalan Tuhan atau Ma`rifat tidak terpenuhi, maka perasaan damai dalam jiwa tidak akan terpenuhi juga, bahkan justru akan menyebakan manusia merasa gelisah, sengsara, dan tidak nyaman. Kondisi seperti inilah yang disebut dengan penyesalan SOSO ALAWE (sesal diri), sebagaimana dinyatakan dalam bait kalinda’da’ di atas.
Manusia menjalankan proses kehidupannya didasarkan dan didorong oleh keyakinan dalam dirinya. Dalam diri setiap manusia memiliki fitrah atau naluri untuk mengenal Allah (ma`rifatullah), mempercayai (al-iman), mengesakan (at-tauhid), mendekatkan diri (at-taqarrub) dengan berbagai macam aktivitas penghambaan diri (al-`ibadah), dan meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah.
Allah menciptakan manusia dengan fitrah beragama. Fitrah adalah sebagai asal kejadian setiap manusia yang lahir. Asal kejadian ini sebagai kondisi awal. Pengertian fitrah ini diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama berpendapat bahwa fitrah yang dimaksudkan adalah iman bawaan dari lahir, dalam penegrtian Allah SWT. memberikan iman kepadanya ketika masih dalam alam rahim. Hal ini didasarkan pada al-Qur’an surat Al-A`raf (7):172. “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah SWT. mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
“أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ؟ قَالُوْا بَلىَ شَهِدْ نَا “
Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka (para arwah) menjawab: ”Betul (Engkau Tuhan kami)”, kami (para malaikat) menjadi saksi”.
Dialog inilah yang diperoleh informasinya dalam kitab Sunan Abi Daud ketika meriwayatkan hadis tentang fitrah ia merangkaikannya dengan ayat 172 Surat al-A`raf tersebut. Demikian juga relevan dengan pernyataan hadis lainnya berbunyi:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْمِلَّةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُشَرِّكَانِهِ
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan keadaan beragama. Hanya saja ayahnya yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau musyrik”. (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah).
Oleh karena itu, para ulama terutama di kalangan salaf berpendapat bahwa terminologi fitrah yang dimaksudkan dalam hadis di atas adalah Islam. Dengan demikian, pada hakekatnya setiap manusia lahir dengan membawa pegangan agama Islam. Hanya karena pengaruh keluarga, sosial, budaya, dan lain-lain sehingga fitrah itu berkembang, berubah atau sekaligus bisa menjadi tercemar, rusak dan kabur dan inilah yang nanti menjadi penyesalan di kemudian hari.
Sementara ulama lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan fitrah sebagai asal kejadian ialah Allah menciptakan potensi ma`rifah (potensi untuk beriman) pada diri manusia berbarengan dengan waktu penciptaannya. Hal ini didasarkan pada al-Qur’an surat Ar-Rum/30: 30.
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّ ْيِن حَنِيْفًا فِطْرَتَ الله الَّتىِ فَطَِِرَ النَّا سَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِ يْلَ لِخَلْقِ الله ذَلِكَ الدِّ يْنُ الْقَيّمُ وَ لَكِنَّ أكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Ar-Rum/30: 30).
Bukhari dalam kitab Hadis Sahihnya dan Ahmad dalam Musnadnya merangkaikan ayat 30 surat ar-Rum ini dengan hadis tentang fitrah.
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Tak seorang pun bayi yang dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah. Hanya orang tuanyalah yang meng-yahudi-kan, me-nasrani-kan, dan me-majusi-kannya.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).
Demikian pula imam Ibnu Hajar al-`Asqalani (852 H/1449 M) dan Imam an-Nawawi (676 H/1277 M) ketika mengomentari hadis tentang fitrah dalam bukunya Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari dan Minhaj Syarh Shahih Muslim mengaitkan keterangan mengenai fitrah dalam hadis di atas dengan fitrah yang disebutkan dalam ayat 30 surat Ar-Rum di atas.
Demikian pula diperoleh informasi dan interpretasi yang sama dalam buku-buku syarah hadis lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka sependapat dengan pendapat kedua di atas.
Ibnu al-Qayyim al-Jauziy (751 H/1350 M) juga mengatakan bahwa bukanlah dimaksudkan “lahir dalam keadaan fitrah” yakni lahir dalam keadaan mengetahui iman, sebab Allah sendiri berfirman, bahwa manusia lahir dari perut ibunya dalam keadaan tidak tahu apa-apa, termasuk tidak tahu masalah iman (QS. An-Nahl/16:78).
Imam an-Nawawi mengatakan bahwa fitrah sebagai keadaan yang belum tertetapkan sampai individu tersebut secara sadar menegaskan keimanannya.
Oleh sebab itulah, jika seorang meninggal sebelum mencapai usia tamyiz, dia akan menjadi penghuni surga, termasuk anak-anak dari orang-orang nonmuslim.
Dengan demikian, pada hakekatnya setiap manusia lahir dengan membawa fitrah beragama. Hanya karena pengaruh keluarga, sosial, budaya, dan lain-lain sehingga fitrah itu berkembang dan berubah atau sekaligus bisa menjadi rusak, tercemar dan kabur dan inilah yang nanti menjadi penyesalan di kemudian hari. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah.
وَلَوْ تَرَى إِذْ وُقِفُوا عَلَى النَّارِ فَقَالُوا يَالَيْتَنَا نُرَدُّ وَلاَ نُكَذِّبَ بِآيَاتِ رَبِّنَا وَنَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Dan jika kamu (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, lalu mereka berkata: “Kiranya kami dikembalikan (ke dunia) dan tidak mendustakan ayat-ayat Tuhan kami, serta menjadi orang-orang yang beriman”, (tentulah kamu melihat suatu peristiwa yang mengharukan). (QS. Al-An`am/6: 27).
Fitrah dasar ini dapat dikembangkan oleh manusia sendiri berdasarkan petunjuk dan bimbingan dari Rasulullah SAW. yang diutus oleh Allah SWT. yang mengantarkannya sehingga menjadi orang yang beriman.
PAPPEJAPPU (Ma`rifah) dimaknai oleh para ulama sufi dalam pengertian suatu pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari, yang dengan pengetahuan itu sedemikian lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya.
Dalam sejarah perkembangan tasawwuf diketahui bahwa orang pertama yang membawa paham ma`rifah ini adalah Dzun Nun al-Mishri seorang sufi besar yang wafat tahun 245 H/860 M. menurutnya, ma`rifah itu ada tiga macam;
1) Ma`rifah orang awam (masyarakat umum).
2) Ma`rifah para mutakallimun (para ulama kalam dan tauhid atau teolog) dan filosof.
3) Ma`rifah para auliya` dan muqarrabin.
Ma`rifah yang ketiga inilah dimana Allah dikenal melalui hati sanubari. Ma`rifah inilah yang tertinggi dan meyakinkan karena diperoleh bukan melalui belajar, usaha, dan pembuktian, akan tetapi ia adalah ilham yang dilimpahkan Allah ke dalam hati yang paling rahasia pada hamba-Nya, sehingga mengenal Tuhannya dengan Tuhannya.
Dzun Nun al-Mishri mengatakan:
عَرَفْتُ رَبِّي بِرَبِّي وَلَوْلاَ رَبِّي لَمَا عَرَفْتُ رَبِّي
“Aku mengenal Tuhanku melalui Tuhanku, dan sekiranya bukan karena Tuhanku, aku tidak akan mengenal Tuhanku”.
Menurut al-Qusyairi (465 H/1073 M) dalam diri manusia ada tiga potensi sebagai media yang digunakan dalam ber-ma`rifah kepada Allah, yaitu Qalbu (hati), ruh, dan sirr (rahasia).
Qalbu adalah untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan.
Ruh adalah untuk mencintai Tuhan.
Sirr adalah untuk melihat Tuhan.
Sirr lebih halus dari ruh, dan ruh lebih halus dari qalbu.
Qalbu selain sebagai alat untuk merasa juga sebagai alat berpikir. Perbedaan qalbu dengan akal, ialah bahwa akal tidak mampu memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan, sedang qalbu mampu mengetahui hakekat dari segala yang ada.
Kalau dilimpahi cahaya Tuhan, maka ia mampu mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution yang juga mengutip pandangan dari al-Qusyairi bahwa kelihatannya Sirr bertempat di ruh, dan ruh bertempat di qalbu. Sirr timbul dan dapat menerima iluminasi dari Allah kalau qalbu dan ruh telah suci sesuci-sucinya dan kosong sekosong-kosongnya, tidak berisi apapun. Di saat itulah Tuhan menurunkan cahaya-Nya kepada para sufi sehingga yang dilihat hanyalah Allah, dan inilah puncak ma`rifah.
Dengan demikian, Kalinda’da’ di atas yang menyebutkan tentang pentingnya pappejappu (ma`rifah) menunjukkan titik temu antara budaya Mandar dan ajaran Islam, bahkan mengindikasikan bahwa masyarakat Mandar banyak menganut pemahaman Islam tasawwuf.
Labuan Bajo NTT, 4 Maret 2021