Melafalkan Niat Puasa

Puasa rukunnya hanya dua, yaitu berniat dan meninggalkan semua yang bisa membatalkan puasa.
Niat artinya al-Qashd, yakni menyengaja dan bertekad dalam hati untuk melakukan sesuatu tanpa keraguan sedikit pun. Semua ibadah harus dilaksanakan dengan ikhlas. Kehendak dan keikhlasan tidak akan terealisasi tanpa niat. Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa niat adalah rukun dan syarat sahnya ibadah, termasuk ibadah puasa. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW. 
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Sesungguhnya amalan ibadah itu (disertai) dengan niat). (HR. Bukhari dari Umar bin Khattab).

Niat itu tempatnya dalam hati. Para ulama mengatakan: 
“ومحل النية القلب ولا تكفي باللسان قطعا ولا يشترط التلفظ بها قطعا لكن يسن عند الجمهور (غير المالكية) التلفظ بها والأولى عند المالكية ترك التلفظ بها. 
(Tempatnya niat adalah di hati. Niat tidak cukup hanya diucapkan dengan lisan saja, tapi juga disyaratkan niat harus diucapkan dengan lisan. Akan tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa niat tetap dalam hati, namun disunnatkan melafalkan atau mengucapkan niat dengan lisan, kecuali ulama madzhab Malikiyah). (Wahbah az-Zuahyliy, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu Juz III h. 1671).

Lafal Niat yang selama ini banyak dipraktekkan adalah: 
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَداَءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ لله تَعاَلىَ
Saya berniat puasa besok untuk menunaikan kewajiban di bulan Ramadhan tahun ini karena Allah.

Lafal niat ini adalah sebagai wasilah atau sarana yang membantu memudahkan konsentrasi niat pada hati. Oleh karena sebagai sarana dan bukan ibadah, maka lafal ini tidak perlu dalil al-Qur’an, hadis atau dalil lainnya. Dan tidak berlaku bid’ah dalam masalah ini. Terkadang masih ada yang mengatakan, Melafalkan niat adalah bid’ah karena tidak ada dalil dan contohnya dari Nabi SAW. Imam Abu Hanifah. Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal, semuanya adalah ahli hadis, apakah mereka pelaku bid’ah karena mereka membolehkan melafalkan bacaan niat. Tidak mungkin.

Mayoritas ulama tersebut membolehkan melafalkan bacaan niat, karena lafal niat itu hanyalah sebagai wasilah atau sarana, bukan ibadah. Sama halnya, ketika mengumandankan adzan menggunakan pengeras suara mic atau long speaker. Mic atau pengeras suara adalah sarana atau wasilah untuk membantu memudahkan kedengaran suara adzan bagi mereka yang di luar masjid atau bagi imam menggunakan mic untuk memudahkan bagi makmum mendengar bacaan imam. Tidak perlu dalil, apakah Nabi Muhammad SAW. menggunakan alat pengeras suara. Alat dan sarana bukanlah ibadah, maka tidak memerlukan dalil al-Qur’an, hadis, dan dan lainnya. Adapun bunyi lafal adzan dan bacaan shalatnya adalah ibadah, maka itulah yang harus ada dalil dan contohnya.

Pada zaman Nabi, Bilal dan Abdullah bin Ummi Maktum mengumandankan adzan di atas menara. Apakah sekarang ini, muadzdzin harus naik ke menara setiap kali mau mengumandankan adzan, dengan alasan ingin mencontoh sunnah Nabi SAW.? 
Jawabannya, tidak perlu, sebab menara sebagai tempat mengumandankan adzan adalah sarana, bukan ibadah, yang perlu dicontoh adalah bunyi adzan karena itulah ibadah. 
Di sinilah perlunya memahami antara ibadah dan sarana. Demikian juga dipahami antara niat dan sarana niat. Bagi mereka yang memerlukan sarana, silakan melafalkan niat dengan membaca niat dengan lisan sambil berniat dalam hati. Inilah nyang dipahami mayoritas ulama. Bagi mereka yang sudah mantap niat dalam hatinya, tanpa perlu membaca lafal niat dengan lisan, juga tidak apa-apa, inilah pendapat ulama madzhab Malikiyah.

Para ulama fiqh, menjelaskan bahwa syarat-syarat niat puasa terdiri atas:

1. Niat dipsang dalam hati pada malam hari. (تبييت النية). 
Hal ini didasarkan pada hadis Nabi SAW. 
مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَه
Siapa yang tidak bertekad (niat) puasa sebelum fajar (subuh), maka tidak ada puasanya. (HR. Tirmidzi dari Hafshah).

Berniat puasa pada awal malam, misalnya selepas shalat tarawih berniat puasa, lalu memperbarui pada waktu sahur juga boleh. Bahkan lebih utama niat puasanya dipasang ketika menjelang terbitnya fajar, sebab itulah sebenarnya tuntutan ibadah pada awal memulainya. Ibadah puasa diawali ketika fajar terbit, sebagaimana niat shalat ketika takbir al-ihram, niat haji atau umrah ketika di miqat.

2. Menentukan niat untuk puasa Fardhu atau wajib. (تعيين النية في الفرض).

Salah satu fungsinya niat adalah membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya. Sebagaimana shalat antara dhuhur dan ashar bisa dibedakan karena niatnya. Apabila berniat secara mutlak, misalnya: “saya berniat puasa besok, niat seperti ini tidak sah, sebab tidak ditentukan puasa wajibnya.

3. Niat harus pasti. (الجزم بالنية).

Niat itu tidak sah apabila tidak pasti, misalnya, “Besok in syaa Allah, saya akan puasa, apabila masuk bulan Ramadhan, kalau tidak maka aku puasa sunat”, ini tidak pasti maka sah.

4. Niat puasa diulang-ulang sesuai berulangnya hari puasa. (تعدد النية بتعدد الأيام).

Berniat puasa wajib Ramadhan dilakukan setiap hari selama bulan Ramadhan, sebab setiap hari dihitung sebagai satu ibadah puasa. Apabila ada satu hari batal puasa, maka tidak ikut membatalkan puasa pada hari-hari lainnya, karena satu hari ibadah puasa berdiri sendiri, bukan bagian dari puasa hari lainnya.

Semoga Ibadah puasa yang kita lakukan sesuai aturan syariat sebagaimana yang dijelaskan para ulama fqih dan dilandasi oleh keikhlasan Lillahi Ta’ala.

Semoga Bermanfaat.
والله أعلم بالصواب

Posted in: Fiqih, Kajian Islam

Leave a Comment